Ibu, Saya dan Acrophobia!
Ibu, Saya dan Acrophobia!
Saya berada di tengah perjalanan menuju stupa utama. Dari bawah, nampak puncak stupanya begitu menggoda, seakan menyemangati agar saya tak menyerah lagi. Ini adalah kunjungan ke Candi Borobudur yang keenam kali. Dimana sebelumnya, sekalipun saya belum pernah mencapai puncaknya. Lantaran, gagal dan gagal lagi melawan ketakutan yang saya miliki.
💪🏃👍
Ya, saya adalah penderita Acrophobia. Sebuah istilah yang berasal dari bahasa Yunani: ákron yang berarti puncak dan phóbos yang bermakna takut. Sebuah ketakutan ekstrim, irasional atau fobia pada ketinggian. Jika berada di tempat dengan ketinggian tertentu, sebagai pengidapnya, saya merasa tegang, mual, pusing, berkeringat dingin dan jantung berdebar kencang. Misalnya, saat saya berada di ujung tangga lantai dua. Waktu melihat ke dasar tangga di lantai satu, napas saya jadi tak tentu. Atau, ketika sedang berada di tepi tempat yang tinggi, rasa takut jatuh akan begitu menghantui.
pic by; quora.com |
Dan, tahukah siapa yang membantu? Ibu!
Saya yang waktu itu duduk di kelas 2 SMP, digandeng Ibu menapaki tangga satu demi satu. Kami menuju stupa utama diselingi bisikan Ibu yang terus menyemangati:
"Ayo, Bismillah, nyawang nduwur wae! Tujuane kae, stupa sing gede dewe! Ora usah noleh nyang ngisor maneh!" (Lihatlah ke atas saja! Tujuannya itu, stupa terbesar! Tidak usah melihat ke bawah lagi!")
Sambil berkata, Ibu terus menggenggam erat tangan saya. Saya terus berusaha melawan ketakutan dengan mengulang kata-kata yang dibisikkannya: "Kamu pasti bisa!"
Sampai akhirnya, saya berhasil mencapai stupa utama! Dan, ucapan Hamdalah pun terucap dari bibir kami berdua!
Sejatinya, perjuangan saya menghadapi ketakutan pada ketinggian melalui proses yang panjang. Saya masih ingat, sewaktu kecil diajak pergi ke rumah kerabat yang berlantai dua. Saya takut menaiki tangga rumahnya. Saya digandeng Ibu naik cuma sampai di tengahnya karena keringat dingin mulai terasa. Ibu lalu mengajak turun dan sama sekali tidak memaksa. Begitu juga di saat lainnya. Ketika ketakutan melanda, Ibu tidak menuntut harus sama dengan kakak-kakak saya yang tidak takut. Ibu mau memaklumi kondisi saya dan mengajak mencoba lagi lain kali.
Sampai akhirnya, saya berhasil mencapai stupa utama! Dan, ucapan Hamdalah pun terucap dari bibir kami berdua!
Ibu dan saya |
Hingga, saat saya berhasil menaklukkan ketakutan pada ketinggian, di Candi Borobudur tadi.
Sejak saat itu rasa takut saya pada ketinggian makin memudar. Ibu menyarankan dengan caranya yang sederhana bahwa fokus pada tujuan memang harus jadi pegangan agar hati tak gentar. Ibu meminta percaya akan kemampuan diri yang selama ini sering saya ragukan sendiri. Ibu juga meyakinkan bahwa sebenarnya saya mampu mengatasi itu.
Ibu, Bapak, saya sekeluarga dan keponakan |
Dan, itu dilakukan Ibu tak hanya saat membantu mengatasi ketakutan akan ketinggian saja. Begitu banyak hal lain juga diajarkan dan dicontohkan Ibu dalam keseharian yang membuat saya belajar memandang positif kehidupan. Ibu, perempuan sederhana yang hanya tamat Sekolah Menengah Pertama yang entah bagaimana caranya bisa mengatur uang gaji Bapak sebagai guru SD, hingga bisa menyekolahkan keenam putri hingga ke tingkat perguruan tinggi. Ibu yang tak pernah mengenal ilmu parenting tapi mampu mengajarkan begitu banyak hal penting. Ibu yang tak pernah mengeluh meski seharian mengurus rumah dengan berbanjir peluh. Ibu yang di saat saya menilai diri tak sanggup menjalani, selalu meyakinkan sesungguhnya saya mampu dan bahkan bisa lebih dari itu.
2017: Ibu 72 tahun & Bapak 79 tahun |
Karena Ibu, saya bisa menaklukkan Acrophobia! Saya jadi berani mengikis rasa takut untuk mencoba dan membulatkan tekad bahwa saya bisa. Selanjutnya, jika gagal, saya percaya mungkin saja itu terjadi karena usaha belum total. Atau, saya terlalu meremehkan diri padahal banyak potensi belum tergali. Pun, mungkin karena saya maunya mengerjakan semua sehingga lupa fokus pada tujuan semula.
Dan, #KarenaIbu, dulu, kini dan nanti, berbekal Bismillah saya percaya bahwa: "Saya Bisa!"
Aku suka gaya Ibu, mengajak sedikit demi sedikit, menemani, tidak memaksa. Hingga kemudian mbak Dian bisa menaklukkan.
BalasHapusIya, Mbak...Dan dengan cara itu, Ibu membuat saya bisa melawan Acrophobia
HapusWah bunda orang jawa ya? ��. Pantesan juga sampe 6 kali ke botobudur. Saya malah belum pernah sama sekali. Pernahnya baru ke candi prambanam. Semoga bisa berksempatan ke sana jalan-jalan juga ya. Oh ya, ngomongin soal ibu, memang tak akan pernah ada habisnya ya bun. Soalnya kita bukan siapa-siapa tanpa bantuan mereka ��
BalasHapusBun.. Bapak saya guru, jadi tiap tahun di sekolah selalu ada rombongan tur ke Borobudur. Biasa keluarga guru bayar separo atau gratis karena biaya ditanggung sisa hasil usaha koperasi guru. Nah, obyek wisata saat itu nggak banyak pilihan nggak seperti sekarang. Jadi ya ke Borobudur lagi ke Borobudur lagi deh... Hihihi..
Hapusibu memang penyemangat hidup mbak
BalasHapuspobia apapun akan terasa biasa saja
kayaknya aku juga pobia seperti itu tapi lebih pobia nyebrang jalan
pobia nyebrang jalan? cari teman waktu mau nyebrang Mas :D
HapusTerharu bacanya. Akhirnya mbak Dian bisa mengatasi acrophobia dibantu oleh ibunya. Setelah sampai di stupa tertinggi gimana rasanya mbak? Masih ada rasa takut?
BalasHapusRasanya lega luar biasa...Karena sebelumnya saya takut sekali..dan merasa pasti nggak bisa lagi
HapusMembaca ini aku jadi kangen Ibu. Betapa kalau dipikirkan banyak sekali hal yang beliau lakukan untuk kita baik itu yang tanpa kita sadari ataupun yang kita sadari.
BalasHapusBtw, congrats mbak sudah bisa mengatasi acrophobianya :)
Terima kasih Mbak...
HapusMemang Ibu tiada duanya bagi putra-putrinya :)
Mbak,tulisannya bikin saya makin sayang ma Ibu. Tak tergambarkan ya kasih sayang beliau. Bener kata Mbak Dian, ibu kita mendidik kita dengan cara yang mungkin sederhana tapi hasilnya nyata. Salam hormat kagem ibu. Sukses buat lombanya ya, Mbak 😘 *saya ketinggalan inpoh lagi nih 😁
BalasHapusMaturnuwun Mbak Tatiek..
HapusTak terkira kasih sayang Ibu kita, semoga kita juga bisa meneladani banyak hal baik dari Beliau saat membersamai anak-anak kita.
saya dulu gak takut ketinggian, biasa manjat pohon jambu. Naik railcoaster juga enjoy aja. Tapi pas sdh tua gini, jd ngeri klo lihat bawah dari tempat tinggi....
BalasHapusWah..kalau baru belakangan ini mungkin karena faktor U, Mbak..
Hapus