[Tanpa judul]
How Many Cities You Lived in?
Hola..hola..!! Jumpa lagi kita!
Postingan ini terinspirasi dari rasa penasaran saat ingin menjawab pertanyaan yang berseliweran di timeline Facebook:
"How many cities you lived in?"
Sejatinya, saat mau ikutan menjawab, saya ragu juga. Pasalnya saat lihat jawaban teman-teman, ada yang selama hidupnya sudah pindah ke sebelas kota dan bahkan sudah menjejak penjuru Nusantara. Juga, mengingat langkah suami sendiri yang sudah pernah menetap di 10 kota yang berbeda. Duh, rasanya kok jadi baper ya...🙈
Tapi, coba saya hitung dulu, sudah tinggal di berapa kota saya selama hampir 42 tahun ini yaa, ...satu, dua, tiga...7 kota!!
Wah, banyak juga ternyata!!
(Astaghfirullah, gitu kok malah baper dan jadi lupa bersyukur saya ya...)
Alhamdulillah saya bisa tinggal di 7 kota berbeda, sementara ada orang yang tetap tinggal di kota yang sama sejak lahir sampai akhir.
(Astaghfirullah, gitu kok malah baper dan jadi lupa bersyukur saya ya...)
Alhamdulillah saya bisa tinggal di 7 kota berbeda, sementara ada orang yang tetap tinggal di kota yang sama sejak lahir sampai akhir.
Nah, kota-kota mana sajakah yang pernah saya tinggali itu? Ini dia..:
1. Kediri
Saya lahir dan besar di Kota Kediri, Jawa Timur. Kedua orang tua saya pun berasal dari kota ini. Jadi saya ini putri Kediri asli..hihihi.
Saya juga menempuh pendidikan sejak TK sampai SMA di Kediri. Jadi sekitar 18 tahun saya tinggal di sana. Kota yang penuh kenangan akan indahnya masa kecil dan masa remaja. Kota yang menyimpan kenanganakan mantan masa sekolah yang paling indah. Dan, kota tempat tujuan saya pulang setiap kali ada waktu luang. Pokoknya Kediri selalu di hati!!
2. Badung
*Badung bukan Bandung!😀
Saat UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) tahun 1994, saya memilih PTN di 3 kota yang berbeda. Pilihan pertama Surabaya, kedua Malang dan ketiga Denpasar. Qadarullah, saya diterima di pilihan yang ketiga.
Setelah menangis tiga hari tiga malam #halah, karena enggak bisa tembus ke PTN dan jurusan yang diidamkan, saya pun berangkat ke Bali diantar Ibu bersama seorang teman dan sepupu yang di terima juga di situ.
Pertama sampai di Denpasar, tanpa sanak saudara dan hanya berbekal sebuah alamat kenalan kerabat, saya pun meniatkan diri untuk menuntut ilmu di Bali.
Karena saat itu kampus Universitas Udayana berada di dua lokasi di Denpasar (kampus lama) dan Bukit Jimbaran (kampus baru). Maka Ibu pun memilihkan saya sebuah rumah kos yang dekat dengan kampus baru di Bukit Jimbaran. Dengan pertimbangan, saya bisa jalan kaki saja ke kampus tanpa perlu moda apa-apa.
Dan, saya pun akhirnya tinggal selama kurang lebih setahun di sana, tepatnya di Jalan Raya Kampus UNUD, Bukit Jimbaran, Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali.
3. Denpasar
Hampir setahun tinggal di dekat Kampus UNUD di Bukit Jimbaran membuat saya kesulitan. Karena beberapa mata kuliah ternyata diselenggarakan di kampus Denpasar. Sehingga saya harus bolak-balik turun "bukit" sejauh 20 km, dengan bis/bemo kampus atau angkutan umum. Padahal saat itu akses transportasi ke dan dari kedua kampus tersebut masih minim sekali. Enggak punya pacar lagi #eh
Akhirnya menjelang tahun kedua, saya memutuskan untuk turun ke kota dan kos di area Jl. IB Oka, Kota Denpasar, Bali. Tepatnya di belakang kampus UNUD Denpasar.
Saya menempati tempat kos ini sampai lulus kuliah dan bekerja (saya sudah bekerja sebelum wisuda). Dan berpindah ke kedua tempat kos lainnya di kota yang sama, sampai tahun 2002. Sampai saya tinggalkan Denpasar untuk menikah dan mengikuti suami ke Sumatera Utara.
4. Singapura
Pada saat tahun terakhir kuliah, saya mengikuti program On The Job Training (OJT) ke Singapura. Sebuah program yang masuk mata kuliah yang wajib ditempuh sebagai syarat kelulusan. Dan saat itu, untuk pertama kalinya pihak fakultas membuka kesempatan untuk program OJT di luar negeri.
Tak menyia-nyiakan, saya pun memilih ke sana untuk berburu pengalaman. Dan, bersama beberapa teman akhirnya saya pun terpilih menjadi pekerja magang di Singapore Convention & Exhibition Center (SICEC) di Suntec City.
Saat itu saya bersama seorang kakak angkatan dan 2 teman dari kampus yang berbeda di Indonesia menempati tempat kos di kawasan Eunos, Singapura. Kami tinggal di rumah pribadi milik Ibu Latifah, warga Singapura yang pensiunan guru dan tinggal sendirian karena suaminya sudah berpulang. Dan selama 6 bulan saya pun menjadi Singaporean. Pergi bekerja bersama warga setempat dengan public transport yang ada (mostly pakai MRT), menimba pengalaman dari nilai-nilai keseharian mereka yang disiplin, pekerja keras dan taat aturan. Benar-benar kenangan manis yang tak terlupakan.
5. Langkat
Saat berencana menikah, saya sejatinya sudah mengurus pindah kerja ke Medan, Sumatera Utara. Tapi karena kendala penempatan yang tidak dikabulkan di kota yang saya inginkan, saya pun akhirnya mengajukan resign tiga hari sebelum hari H.
Setelah menangis tiga hari tiga malam (lagi) #hihihi, acara pernikahan pun dihelat di Kediri. Setelah sepasar (lima hari - Jawa), saya pun ikut suami pindah ke Pangkalan Brandan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Sekitar lima tahun saya sekeluarga tinggal di rumah dinas perusahaan di sana. Dengan anak pertama yang meninggal dunia dan anak kedua yang lahir setelahnya. Kemudian meninggalkan Langkat dan pindah ke rumah sendiri di Jakarta Barat.
6. Jakarta Barat
Ketika suami mendapatkan surat mutasi ke kantor pusat di Jakarta, kami sempat dibuat kebingungan. Pasalnya, penempatan di kantor pusat tidak disediakan rumah dinas layaknya penempatan di daerah. Kami berdua pun berunding, apakah memilih untuk menjadi kontraktor (baca: penyewa) atau pemilik rumah saja.
Akhirnya kami pun nekat untuk mengambil Kredit Pemilikan Rumah dengan cicilan yang sejatinya benar-benar membuat pinggang harus diikat erat.
Pertimbangan bahwa setelah mencicil sekian tahun rumah jadi milik sendiri, lebih dikedepankan daripada menjadi kontaktor sepanjang masa. Mengingat pula, harga rumah di Jakarta dari tahun ke tahun kenaikan harganya menggila!
Nah, akhirnya setelah hunting sana-sini nyari daerah yang sreg di hati, bebas banjir dan pastinya sesuai budget..kami pun membeli rumah yang berlokasi di Joglo, Jakarta Barat. Sebuah rumah mungil yang saat sepupu saya dari Kediri bertandang, bilang, "Nyapunya cepet bangeeet!" (Karena dari belakang ke depan hanya perlu beberapa langkah kaki ..hihihi..)
Dan kami pun tinggal di sini sekitar 9 tahun sampai kini.
7. New Orleans
Pada tahun 2008, di kantor suami ada pengumuman program penerimaan bea siswa pendidikan Master/S2 ke luar negeri. Dimana program ini sudah ditiadakan selama satu dekade lantaran krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998. Saat itu kami baru setahun pindah ke Jakarta dan benar-benar berpenghasilan pas-pasan karena adanya cicilan perumahan.
Suami yang lulusan Fakultas ekonomi UI sejak lama memang ingin melanjutkan kuliah ke jenjang lebih tinggi. Tapi karena masalah tempat, waktu dan biaya keinginan itupun tertunda.
Kemudian dengan tekat bulat, suami saya pun mempersiapkan diri untuk beberapa tes internal yang dilalui. Proses ini berjalan beberapa bulan dengan sistem gugur dan diikuti oleh karyawan yang memenuhi persyaratan dari seluruh Indonesia.
Lalu hari yang ditunggu pun tiba dan Qadarullah suami saya berhasil mendapatkan tiket bea siswa penuh dan dipersilakan untuk melanjutkan program MBA (sesuai dengan jurusan di tingkat sarjananya) ke 100 sekolah bisnis terunggul di dunia. Bersamaan dengan itu, saya dan suami mendapatkan rejeki yang telah kami nanti selama lebih dari empat tahun, saya hamil lagi!
Lalu perjuangan tahap kedua pun dimulai. Kami pun berdiskusi mau pilih negara mana. Yang kami pertimbangkan diantaranya adalah lamanya masa studi. Di beberapa negara program Master bisa ditempuh dalam waktu setahun, satu setengah tahun dan dua tahun. Dan, kami pun memilih yang terlama dengan alasan, tak hanya sekolah tapi juga bisa menimba pengalaman hidup di sana.
Karena perusahaan menyediakan tiket pesawat pulang pergi untuk penerima bea siswa beserta keluarganya, maka ini menjadi kesempatan bagi saya dan anak-anak saya untuk ikut serta. Meski jumlah uang saku (student allowance yang diberikan besarannya tetap sama baik bagi yang berangkat sendiri maupun yang membawa serta keluarga). Tapi sebuah kesempatan tak layak untuk disia-siakan bukan...Yang penting berangkat dulu, masalah harus berhemat di sana..pikir nanti saja hahaha
Kemudian setelah melalui serangkaian tes masuk ke universitas yang dituju akhirnya ada kabar bahwa suami diterima di Tulane University di New Orleans. Jadilah kami sekeluarga pindahan ke New Orleans, tepatnya menetap di Metairie, sebuah daerah yang masuk wilayah Greater New Orleans, Louisiana, Amerika Serikat.
Kami pun tinggal di sana selama dua tahun sampai selesai masa belajar suami dan selanjutnya pulang ke Jakarta lagi.
Meski jauh dari kampung halaman, terpisah dari orang tua dan sanak saudara, tapi selalu ada hikmah yang menyertainya. Dan rasa syukur tetap terpanjat di tengah suka duka jadi perantau yang memang enggak mudah. Sungguh, merantau itu berat, kamu belum tentu kuat...!! #eaaa
Nah, kalau teman-teman sudah pernah tinggal dimana saja?😍
Salam dari cah Kediri yang merantau ke Jakarta,
Dian Restu Agustina
Saya juga menempuh pendidikan sejak TK sampai SMA di Kediri. Jadi sekitar 18 tahun saya tinggal di sana. Kota yang penuh kenangan akan indahnya masa kecil dan masa remaja. Kota yang menyimpan kenangan
Bercelana monyet saat kelas 2 SD (1983) |
Di depan Monumen Simpang lima Gumul (2017) |
*Badung bukan Bandung!😀
Saat UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) tahun 1994, saya memilih PTN di 3 kota yang berbeda. Pilihan pertama Surabaya, kedua Malang dan ketiga Denpasar. Qadarullah, saya diterima di pilihan yang ketiga.
Setelah menangis tiga hari tiga malam #halah, karena enggak bisa tembus ke PTN dan jurusan yang diidamkan, saya pun berangkat ke Bali diantar Ibu bersama seorang teman dan sepupu yang di terima juga di situ.
Pertama sampai di Denpasar, tanpa sanak saudara dan hanya berbekal sebuah alamat kenalan kerabat, saya pun meniatkan diri untuk menuntut ilmu di Bali.
Rektorat Universitas Udayana (sumber: unud.ac.id) |
Dan, saya pun akhirnya tinggal selama kurang lebih setahun di sana, tepatnya di Jalan Raya Kampus UNUD, Bukit Jimbaran, Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali.
Hampir setahun tinggal di dekat Kampus UNUD di Bukit Jimbaran membuat saya kesulitan. Karena beberapa mata kuliah ternyata diselenggarakan di kampus Denpasar. Sehingga saya harus bolak-balik turun "bukit" sejauh 20 km, dengan bis/bemo kampus atau angkutan umum. Padahal saat itu akses transportasi ke dan dari kedua kampus tersebut masih minim sekali.
Akhirnya menjelang tahun kedua, saya memutuskan untuk turun ke kota dan kos di area Jl. IB Oka, Kota Denpasar, Bali. Tepatnya di belakang kampus UNUD Denpasar.
Saya menempati tempat kos ini sampai lulus kuliah dan bekerja (saya sudah bekerja sebelum wisuda). Dan berpindah ke kedua tempat kos lainnya di kota yang sama, sampai tahun 2002. Sampai saya tinggalkan Denpasar untuk menikah dan mengikuti suami ke Sumatera Utara.
Bersama Bapak,Ibu,Mbak&Sepupu (bawa map biru-piagam lulusan terbaik di Fakultas)😄 |
tempat kerja terakhir sebelum resign untuk menikah (ayo saya yang mana ?😀) |
Pada saat tahun terakhir kuliah, saya mengikuti program On The Job Training (OJT) ke Singapura. Sebuah program yang masuk mata kuliah yang wajib ditempuh sebagai syarat kelulusan. Dan saat itu, untuk pertama kalinya pihak fakultas membuka kesempatan untuk program OJT di luar negeri.
Tak menyia-nyiakan, saya pun memilih ke sana untuk berburu pengalaman. Dan, bersama beberapa teman akhirnya saya pun terpilih menjadi pekerja magang di Singapore Convention & Exhibition Center (SICEC) di Suntec City.
Saat itu saya bersama seorang kakak angkatan dan 2 teman dari kampus yang berbeda di Indonesia menempati tempat kos di kawasan Eunos, Singapura. Kami tinggal di rumah pribadi milik Ibu Latifah, warga Singapura yang pensiunan guru dan tinggal sendirian karena suaminya sudah berpulang. Dan selama 6 bulan saya pun menjadi Singaporean. Pergi bekerja bersama warga setempat dengan public transport yang ada (mostly pakai MRT), menimba pengalaman dari nilai-nilai keseharian mereka yang disiplin, pekerja keras dan taat aturan. Benar-benar kenangan manis yang tak terlupakan.
Upacara HUT RI di KBRI Singapura, 17 Agustus 1998 |
Jalan dan Jajan ke Sentosa Island |
Saat berencana menikah, saya sejatinya sudah mengurus pindah kerja ke Medan, Sumatera Utara. Tapi karena kendala penempatan yang tidak dikabulkan di kota yang saya inginkan, saya pun akhirnya mengajukan resign tiga hari sebelum hari H.
Setelah menangis tiga hari tiga malam (lagi) #hihihi, acara pernikahan pun dihelat di Kediri. Setelah sepasar (lima hari - Jawa), saya pun ikut suami pindah ke Pangkalan Brandan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Sekitar lima tahun saya sekeluarga tinggal di rumah dinas perusahaan di sana. Dengan anak pertama yang meninggal dunia dan anak kedua yang lahir setelahnya. Kemudian meninggalkan Langkat dan pindah ke rumah sendiri di Jakarta Barat.
Jalan dan Jajan ke Banda Aceh bersama teman-teman (tahun 2006) |
Ketika suami mendapatkan surat mutasi ke kantor pusat di Jakarta, kami sempat dibuat kebingungan. Pasalnya, penempatan di kantor pusat tidak disediakan rumah dinas layaknya penempatan di daerah. Kami berdua pun berunding, apakah memilih untuk menjadi kontraktor (baca: penyewa) atau pemilik rumah saja.
Akhirnya kami pun nekat untuk mengambil Kredit Pemilikan Rumah dengan cicilan yang sejatinya benar-benar membuat pinggang harus diikat erat.
Pertimbangan bahwa setelah mencicil sekian tahun rumah jadi milik sendiri, lebih dikedepankan daripada menjadi kontaktor sepanjang masa. Mengingat pula, harga rumah di Jakarta dari tahun ke tahun kenaikan harganya menggila!
Nah, akhirnya setelah hunting sana-sini nyari daerah yang sreg di hati, bebas banjir dan pastinya sesuai budget..kami pun membeli rumah yang berlokasi di Joglo, Jakarta Barat. Sebuah rumah mungil yang saat sepupu saya dari Kediri bertandang, bilang, "Nyapunya cepet bangeeet!" (Karena dari belakang ke depan hanya perlu beberapa langkah kaki ..hihihi..)
Dan kami pun tinggal di sini sekitar 9 tahun sampai kini.
Di tempat paling iconic se-Jakarta Barat, RPTRA Kalijodo😉 |
Pada tahun 2008, di kantor suami ada pengumuman program penerimaan bea siswa pendidikan Master/S2 ke luar negeri. Dimana program ini sudah ditiadakan selama satu dekade lantaran krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998. Saat itu kami baru setahun pindah ke Jakarta dan benar-benar berpenghasilan pas-pasan karena adanya cicilan perumahan.
Suami yang lulusan Fakultas ekonomi UI sejak lama memang ingin melanjutkan kuliah ke jenjang lebih tinggi. Tapi karena masalah tempat, waktu dan biaya keinginan itupun tertunda.
Kemudian dengan tekat bulat, suami saya pun mempersiapkan diri untuk beberapa tes internal yang dilalui. Proses ini berjalan beberapa bulan dengan sistem gugur dan diikuti oleh karyawan yang memenuhi persyaratan dari seluruh Indonesia.
Lalu hari yang ditunggu pun tiba dan Qadarullah suami saya berhasil mendapatkan tiket bea siswa penuh dan dipersilakan untuk melanjutkan program MBA (sesuai dengan jurusan di tingkat sarjananya) ke 100 sekolah bisnis terunggul di dunia. Bersamaan dengan itu, saya dan suami mendapatkan rejeki yang telah kami nanti selama lebih dari empat tahun, saya hamil lagi!
Jalan dan Jajan ke Las Vegas |
Karena perusahaan menyediakan tiket pesawat pulang pergi untuk penerima bea siswa beserta keluarganya, maka ini menjadi kesempatan bagi saya dan anak-anak saya untuk ikut serta. Meski jumlah uang saku (student allowance yang diberikan besarannya tetap sama baik bagi yang berangkat sendiri maupun yang membawa serta keluarga). Tapi sebuah kesempatan tak layak untuk disia-siakan bukan...Yang penting berangkat dulu, masalah harus berhemat di sana..pikir nanti saja hahaha
Kemudian setelah melalui serangkaian tes masuk ke universitas yang dituju akhirnya ada kabar bahwa suami diterima di Tulane University di New Orleans. Jadilah kami sekeluarga pindahan ke New Orleans, tepatnya menetap di Metairie, sebuah daerah yang masuk wilayah Greater New Orleans, Louisiana, Amerika Serikat.
Kami pun tinggal di sana selama dua tahun sampai selesai masa belajar suami dan selanjutnya pulang ke Jakarta lagi.
somewhere in Florida (tahun 2010) |
And that's all! The 7 cities I lived in!
Enggak tahu nambah berapa kota lagi nanti..Semoga bisa nambah lagi dan lagi 😁 Aamiin.
Hmm, enggak sedih jauh dari keluarga?
Hmm, enggak sedih jauh dari keluarga?
Meski jauh dari kampung halaman, terpisah dari orang tua dan sanak saudara, tapi selalu ada hikmah yang menyertainya. Dan rasa syukur tetap terpanjat di tengah suka duka jadi perantau yang memang enggak mudah. Sungguh, merantau itu berat, kamu belum tentu kuat...!! #eaaa
Nah, kalau teman-teman sudah pernah tinggal dimana saja?😍
Salam dari cah Kediri yang merantau ke Jakarta,
Dian Restu Agustina
Mbak Dian manis sekali foto2 masih gadisnya.. Eh, sampai sekarang juga ding.. Selama 32 tahun, saya sudah tinggal di 8 kota meski masih dalam negeri saja. Ada yang belasan tahun, ada yang hitungan bulan, tetapi sama saja berkesannya.
BalasHapusMakasih untuk manisnya..kwkwkw
HapusKeren Mbak..sudah 8 kota ya:)
Hwaaa...asiiik mbaa. Saya pengin deh sempat tinggal di LN tp blm rezekinya hahaha. Dari kapan hari pengin nulis tema serupa tp nggak eksekusi jugak..jd seolah dikompori tulisan mb dian. Nice share mbaak ;)
BalasHapusYuk, ah tulis tulis..biar yang lain tahu ceritanya :)
HapusMba dian awet muda yaa, tetap cantik sampai sekarang.
BalasHapusUntuk tinggal, aku pernah di Jakarta, Rangkas bitung, Cirebon, Solo, dan Bandung (sampai sekarang).
Seru yaa perjalanan kehidupan mba, sudahh beberapa kali pindah tempat tinggal :)
Mkasih Mbak Egy :)
HapusWah..mbak Egy juga pindah-pindah ya ternyata:)
Huaaa seru banget perjalanan hidupnya Mbak Dian, Udah kemana-mana, paling seru di luar negeri yaa Mbak Dian. saya masih Jawa Timur aja terus langsung merantau ke ujung Sumatra hihii.
BalasHapusSyiip, Mbak Dira..lumayan jadi punya pengalaman merantau juga kan ya:)
Hapuskereeennn mbaaa, mau ikut nge-list boleh gaa hahaha...
BalasHapusyuk tambahin..:)
HapusWah mba Dian cantiiiik, keren masih nyimpen poto2nya. Duh kapan aku menginjakkan kaki keluar negeri hehe. Tapi bener kata mbak 7 kota dan bersyukur. Bersyukur karena sudah diijinkan pergi melihat bumi Allah yang lain :) Keren mbak Dian tulisannya
BalasHapusIya Alhamdulillah, Mbak bisa menjejak di bumi Allah lainnya:)
HapusSaya seumur hidup di jakarta, dr lahir. Maklum memang asli betawi & pindah ke tamgerang stlh nikah juga ga jauh2 amat dr jakarta.
BalasHapusTapi alhamdulillah saya udah menginjak hampir semua kota.di indonesia & beberapa dunia karena tugas. Keren sharenya Mba Dian
Iya Mbak Srie..itu lebih keren lagi:)
HapusSeru juga ya, bisa tinggal di daerah yang berbeda-beda. Kalau saya hanya di dua kota aja, Mbak hehehe..
BalasHapusIya Mbak...Alhamdulillah masih beralih Mbak meski beda kota, ada yang sejak lahir sampai akhir di situ saja:)
HapusBanyak juga ya, mbak kotanya. Kalau saya cuma 3 kota nih yang pernah ditinggali. Banjarmasin, Banjarbaru sama bandung
BalasHapusAlhamdulillah bisa mengenal tiga kota ya Mbak..saya malah belum pernah ke Banjarmasin dan Banjarbaru.
HapusSaya selalu ngiri kalok baca blognya mba Dian hahahha... soalnya tulisannya kalo nggak makan,ya jalan-jalan ����
BalasHapusSeumur hidup saya baru tinggal di 3 kota saja. Itupun masih di P. Jawa. Semoga suatu saat bisa kayak mba Dian ah, keliling dunia.
Mbak Bety..saya cerita yang senang-senang karena ingin menginspirasi..
HapusKalau sedihnya saya kubur di hati hihihi
Jujur lho ini!
Jadi jangan ngiri ya Mbak..plisss!
Ih keren banget mba, ke sana ke mari mulu.
BalasHapusSaya juga pengen kayak gini, tapi kalau suami, ke sana ke marinya selalu ke daerah terpencil, hiks.
Gakuat deh tinggal di tempat yang sulit mau ngapa-ngapain, terlebih suami kalau kerja lembur mulu
Kebetulan dapatnya di kota, karena dia di dept finance Mbak..kalau yang di lapangan ya di daerah terpencil dapatnya :D
HapusPindah ke tempat baru dan tinggal di situ kalau enggak jalan-jalan rugi. Karena belum tentu nanti ke situ lagi :)
BalasHapus