Rian dan Buah Durian
Rian dan Buah Durian (sebuah cerpen)
Coba kamu tanya Rian, apa buah kesukaannya. Jawabannya pasti, strawberry! Lalu, tanyakan pula, buah yang paling tidak disukainya. Rian pasti dengan tegas menjawab, durian!
*Cernak ini ditulis tahun 2016, ketika saya begitu kangen dengan Sumatera Utara, tepatnya pada Pangkalan Brandan, tempat saya dan keluarga tinggal di periode 2002-2007.😍
Coba kamu tanya Rian, apa buah kesukaannya. Jawabannya pasti, strawberry! Lalu, tanyakan pula, buah yang paling tidak disukainya. Rian pasti dengan tegas menjawab, durian!
Rian, anak kelas 4 SD yang sehat dan pintar. Sejak kecil ia tak pernah pilih-pilih makanan. Semua makanan sehat nan lezat yang disajikan Ibu, dilahapnya. Macam-macam sayur, berbagai jenis lauk pauk, aneka camilan, juga beragam buah-buahan. Semuanya enak dimakan bagi Rian, kecuali satu, yaitu buah durian.
Entah sejak kapan Rian membenci durian. Mungkin sejak dia mampu mengatakan bahwa bau durian itu menyengat, menusuk hidung dan membuat pusing kepala kalau lama-lama di dekatnya.
“Ah, mana mungkin makan sesuatu yang membuat kita mual dengan mencium baunya saja!” Begitu yang selalu ia katakan tiap kali ditanya alasan kenapa benci pada durian.
Di rumah, hanya Rian seorang yang tak suka makan durian. Ayah, Ibu dan Dik Ivan suka sekali buah yang kulitnya berduri tajam itu. Jika mereka bertiga sedang beramai-ramai membelah durian, Rian pun menyingkir ke depan TV, atau masuk ke kamar. Rian juga paling sebal kalau ada acara keluarga besar, yang diakhiri dengan pesta durian. Rasanya ia ingin pergi jauh-jauh dari tempat itu.
Ayah dan Ibu, bukan tak pernah membujuk Rian untuk mencoba makan durian. Ayah pernah membelikannya durian montong di supermarket, yang berharga mahal, karena didatangkan dari Thailand. Kata Ayah, durian montong lebih enak, dagingnya lebih tebal dan baunya tidak menyengat seperti durian Indonesia. Padahal bagi Rian sama saja.
“Baunya busuk!” seru Rian sambil lari karena merasa pusing kepala.
Ibu pun tak bosan berusaha membuat Rian suka pada durian. Seringkali Ibu membuat camilan berbahan dasar durian agar Rian tertarik mencobanya. Bolu, puding, kolak, kue kering, pancake, semua diolah Ibu dari durian, menjadi makanan yang super lezat. Tapi, Rian tetap pada pendiriannya bahwa durian bukanlah kesukaannya.
Ivan, adik Rian yang kelas 2 SD, tak ketinggalan ikut merayunya. Ivan membelikan es krim dan permen rasa durian untuk Rian. Rian memang berterima kasih pada adiknya, tetapi tetap enggan untuk memakannya.
pic by wikipedia |
Suatu hari, Ayah membawa kabar akan berpindah tugas ke kota Medan. Rencananya, mereka sekeluarga akan ikut ke sana. Sejak Rian lahir, keluarganya memang sudah pindah tempat tinggal sebanyak 3 kali untuk mengikuti tugas Ayah. Meski sedih karena harus berpisah dengan sekolah dan teman-temannya di tempat yang lama, tapi bagi Rian pindah-pindah kota itu juga menyenangkan. Ia bisa mengenal tempat baru, sekolah baru, temannya jadi bertambah, juga jadi tahu berbagai budaya daerah.
“Apa yang terkenal di Medan, Ayah?” Rian tak sabar ingin tahu.
“Hmm.., banyak Rian! Di sana ada beragam budaya, karena dihuni oleh Suku Batak, Melayu, Jawa, Minangkabau, Aceh, juga warga keturunan Tionghoa dan India”
“Wah, lengkap sekali. Oh ya, ada danau terbesar di Asia Tenggara juga kan Yah, itu lo Danau Toba?”
“Iya, kamu benar. Tapi letaknya bukan di kota Medan, jaraknya sekitar 175 km dari Medan.”
“Oh, jauh juga ya Yah..Oh ya, kalau makanan yang terkenal di sana apa, Yah?”
“Macam-macam Rian. Karena dihuni oleh berbagai suku, makanannya pun bervariasi. Kamu ingat kan waktu Ayah tugas kesana, pulangnya bawa bika ambon, teri Medan, kopi, sirup markisa, bolu gulung dan durian. Itu antara lain makanan khas Medan yang biasanya dijadikan oleh-oleh orang yang berkunjung kesana.”
“O iya Yah, Rian ingat! Cuma durian yang ngga Rian coba”
“Wah rugi kamu Rian. Durian adalah buah yang paling dicari orang kalau berkunjung ke Medan. Ayah yakin kamu nanti pasti suka,” kata Ayah sambil tersenyum menggoda Rian.
Dan, waktu yang ditunggu pun tiba.
Medan, kota yang menyenangkan. Rian cepat berbaur dengan lingkungan barunya. Teman-teman barunya pun bersahabat. Meski awalnya Rian kesulitan untuk memahami percakapan teman-temannya yang berbahasa Indonesia dialek Medan. Tapi, tak butuh waktu lama Rian sudah ikut-ikutan memakai kata-kata khas Medan yang sering diucapkan teman-temannya itu. Misalnya, aku bahasa Medannya awak, kamu itu kau, motor itu kereta, pasar disebut pajak, permen itu bonbon, jalan-jalan itu raun-raun…dan masih banyak lagi. Rian senang bisa tahu hal-hal baru. Tapi, ada satu hal yang belum dicobanya, yaitu makan durian Medan.
pic by pixabay |
Suatu hari di sekolah.
“Rian, awak belum pernah main ke rumah kau. Bolehkah hari Minggu nanti awak, Buyung dan Andrew main kesana?” tanya Ucok
“Boleh Ucok…Senang banget aku..Oke, hari Minggu aku tunggu ya?” sambut Rian.
“Oke, nanti awak bawa durian ya, Kemarin Bapak bawa durian panenan dari kampung.”
“Du..ri..an..eeeeh, iya ya boleh…terimakasih ya Ucok,” Rian tergagap menjawabnya.
Hari Minggu yang ditunggu....
Duduk melingkar di halaman belakang rumah, Rian, Ucok, Buyung dan Andrew. Di depannya beberapa buah durian siap untuk dinikmati bersama. Ibu menyiapkan pisau dan wadah. Ayah siap membantu membelah. Ivan tak ketinggalan ikut duduk menanti durian siap untuk dinikmati.
Rian berusaha bersikap biasa-biasa saja di hadapan teman-temannya. Ia tak mau temannya tahu kalau ia benci durian. Ketika Ayah mengulurkan durian kepadanya. Rian dengan hati-hati menyuapkan ke mulutnya. Dicobanya menggigit sedikit daging buahnya.
Dan, oh la la…Rasanya legit, manis, asam dan pahit bergantian di lidahnya. Enak! Rian jadi menyesal telah menilai durian tidak enak, hanya karena mencium baunya saja. Tak sadar, Rian mengambil satu biji lagi… lagi…dan lagi!
Ayah dan Ibu yang dari tadi tak berkomentar, saling pandang dan tersenyum lega.
“Rian, rupanya kau suka durian ya? Cocok kali kau tinggal di Medan!” seru Ucok.
Semua tertawa. Muka Rian bersemu merah. Dalam hati Rian berjanji, kalau lain waktu akan mencoba dulu, sebelum memutuskan tidak suka akan sesuatu.
Love,
Dian Restu Agustina
*Cernak ini ditulis tahun 2016, ketika saya begitu kangen dengan Sumatera Utara, tepatnya pada Pangkalan Brandan, tempat saya dan keluarga tinggal di periode 2002-2007.😍
hahahahaha sukaaak kali aku bacanyaaa :p. akupun kangeeeen mba ama medan. kangen ama dialek orang2nya, inget ama temen2 sekolahku dulu :D. nth kapanlah bisa balik ksana lg, secara tiket domestik skr gila2an :p. pgn jalan darat ama keluarga naik mobil. tp mungkin tunggu libur panjang biar santai road tripnya :D
BalasHapus