Di Negara Itu Impianku Berlabuh
Di Negara Itu Impianku Berlabuh........Buku antologi, Di Negara Itu Impianku Berlabuh ditulis oleh 15 Penulis Nusantara dan diterbitkan oleh Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia, melalui divisi penerbitannya (FAM Publishing).
Merupakan antologi kisah inspiratif, berisi pengalaman penulisnya menjejakkan kaki di berbagai negara di dunia.
Bermimpi pergi ke Amerika? Untuk backpackeran, meniti ilmu, bekerja atau melabuhkan cita-cita? Kenapa tidak! Berdoa dan berusahalah agar impianmu tercapai! Suami dan saya telah mewujudkannya. Bagaimana bisa? Sepenggal cerita akan saya bagi di sini.
Semua berawal dari adanya pengumuman di kantor suami tentang seleksi bea siswa program Master ke luar negeri. Ia pun menyusun strategi untuk menyiapkan diri. Mewujudkan mimpinya sedari dulu untuk bisa bersekolah ke luar negeri. Mulai dari persiapan tes tertulis yang meliputi tes kemahiran berbahasa Inggris/TOEFL, pengetahuan umum, psikotes dan wawancara.
Buku-buku pendukung yang diperlukan, dibeli dan dipelajarinya. Secara intensif, ia juga mengasah kemampuannya berbahasa Inggris, yang selama ini memang didalami sendiri, tanpa pernah mengambil kursus privat. Ya, kemampuan berbahasa asing itu perlu sesuai dengan negara yang akan dituju. Sementara, saya mendukung penuh rencananya, membantu sebisa saya dan menyiapkan mental untuk kesempatan terbaik yang mungkin datang.
Akhirnya setelah proses selama beberapa bulan, suami saya lolos. Alhamdulillah! Ia berhak mendapatkan beasiswa penuh program MBA dan dipersilakan melakukan pendaftaran mandiri ke universitas/sekolah bisnis yang telah ditentukan, yaitu yang termasuk 100 besar terbaik dunia.
Pertama, menentukan dulu negara mana yang akan kami tuju. Dan, kami memilih Amerika. Alasannya, Amerika adalah pusat bisnis dunia. Bukankah lebih baik kita belajar pada ahlinya? Selain itu, program Master disana berlangsung selama 4 semester (2 tahun). Waktu yang pas untuk menempuh studi sembari menikmati suka duka tinggal di sana. Oh ya, di negara lain umumnya program Masternya lebih singkat, yaitu 2 atau 3 semester saja.
Setelah mengirimkan beberapa aplikasi, melengkapi persyaratan seperti esai dan tes wawancara via email/telepon, suami akhirnya diterima di Freeman School of Business di Tulane University, New Orleans. Singkat cerita, kami berempat - bersama dua anak kami berusia 4 tahun dan 2 bulan (saat itu saya baru saja melahirkan dengan persalinan sesar)- akhirnya bisa menginjakkan kaki di Amerika.
Awal mula hidup di negeri Paman Sam tak sesulit yang saya bayangkan. Dengan bantuan komunitas warga Indonesia yang tinggal disana juga dari pihak kampus, membuat urusan kami kelar dan lancar.
Pertama kali yang wajib diurus adalah kartu identitas diri. Kartu tersebut akan dipakai untuk membuka rekening bank, menyewa apartemen, membeli kendaraan, membuat SIM, dll.
Mempunyai rekening bank perlu, karena pihak bank akan memberikan kartu debit/kredit dan buku cek yang akan dipakai untuk hampir semua transaksi di Amerika. Pemakaian uang tunai untuk transaksi sudah jarang dilakukan.
Membeli kendaraan sebagai alat mobilitas di daerah yang moda transportasi massalnya belum lengkap, juga perlu. Mudah saja, tinggal bawa kartu identitas, pergi ke diler mobil bekas, tulis cek/bayar tunai, mobil langsung bisa dipakai. Oh ya, harga mobil bekas jauh lebih murah dibandingkan di Indonesia. Yang mahal adalah biaya perawatannya.
Hal yang sulit adalah saat pembuatan SIM. Mengemudikan kendaraan bermotor di Amerika adalah hak istimewa yang diberikan kepada individu. Sehingga untuk memperolehnya, tidaklah sembarangan. Tes teori dan tes mengemudi harus lulus 100%.
Sementara untuk SIM bisa didapatkan di wilayah lain, tidak harus di wilayah tempat tinggal kita. Saat itu saya membuat SIM di kota tetangga karena katanya lebih sepi pemohonnya. Beberapa hari kemudian, datang surat berisi cek sebesar $15 pengembalian kelebihan biaya SIM saya. Ternyata, di sana biayanya lebih murah dibandingkan dengan di kota tempat saya tinggal. Keren kan, uang susuk dikembalikan.
Oh ya, jika kita melanggar aturan lalu lintas, hukumannya pun tak main-main. Mulai dari surat tilang yang ditaruh di kaca depan mobil, surat denda yang disertai foto bukti pelanggaran yang dikirimkan ke rumah, pencabutan SIM, bahkan dipenjara. Semua tertib dan teratur, kalau melanggar pasti kena sanksi.
Kemudian tentang tempat tinggal, apartemen yang kami tinggali serupa dengan rumah-rumah kontrakan di Jakarta. Bedanya, bangunan berderet rapi, dengan peruntukan yang sesuai fungsi. Misalnya penghuni rumah nomor satu hanya berhak parkir di lot parkiran nomor satu. Jika Anda parkir sembarangan, dimanapun juga, jangan heran kalau 30 menit kemudian kendaraan sudah tidak ada di tempatnya lagi. Bukan hilang, tapi diderek oleh aparat berwenang atas laporan warga atau karena menyalahi aturan.
Antara penyewa dan pemilik apartemen juga ada perjanjian mengikat yang berisi hak dan kewajiban masing-masing. Jadi saat menghuni kita harus ikut merawatnya, begitu juga kalau ada kerusakan kita tinggal melaporkan. Semua ada payung hukum jadi tidak ada yang akan dirugikan.
Lalu, biasanya apartemen sudah dilengkapi dengan fasilitas standar seperti kompor, mesin cuci/pengering pakaian, AC/heater, kitchen set, mesin pemanas air. Untuk perkakas, saya membeli dengan harga miring dari garage sale yang biasanya diadakan warga setempat di hari Sabtu atau Minggu. Barang-barang yang tidak diperlukan lagi oleh pemiliknya dengan kondisi yang masih layak pakai, dijual dengan harga murah. Kita bisa beli sofa, peralatan dapur, mainan, buku, dan pernak pernik lainnya.
Selain itu saya juga bergabung di komunitas freecycle, yaitu komunitas yang antar anggotanya menawarkan/memberikan barang yang layak pakai secara gratis. Semua dilakukan secara online. Kita tinggal tawarkan saja barang yang akan kita berikan atau jika ada orang yang menawarkan sesuatu dan kita membutuhkan, silakan dikonfirmasi. Siapa cepat ia dapat. Barangnya beragam, mulai dari mainan, panenan buah, sepeda, mesin cuci bahkan mobil.
Lalu, di kampus, suami saya sangat menikmati masa kuliahnya. Mahasiswa lintas negara disatukan dalam berbagai tugas kelompok yang dipecahkan bersama. Kampus dengan fasilitas perpustakaan dan kegiatan kemahasiswaan yang lengkap. Kelas yang hidup dengan diskusi yang interaktif. Dosen yang sepenuhnya berinteraksi dengan mahasiswa sehingga tak merasa terasing satu sama lain. Tugas kuliah yang jelas dan memberikan keleluasaan pemahaman bagi masing-masing orang.
Bahan bacaan bisa dicari di perpustakaan ataupun beli buku bekas secara online. Di lembar penilaian tugas, selalu ada catatan dari profesor pengajar berisi komentar untuk perbaikan juga pujian. Penilaiannya secara personal. Jika perlu bantuan dosen, bisa ditemui langsung atau bertanya lewat email. Hingga meski ada kendala bahasa, dengan semangat dan kekuatan untuk bertahan, rintangan itu bisa diatasi oleh suami saya.
Tak hanya itu, kehidupan sehari-hari di Amerika membuat kita mandiri. Banyak pekerjaan harus dilakukan sendiri. Jangan harap kita bisa mempunyai asisten rumah tangga, pengasuh anak atau sopir pribadi seperti di Indonesia. Yang bisa membayar mereka hanya orang sekaliber artis Hollywood atau milyuner sekelas Donald Trump. Jadi, persiapan hidup mandiri itu perlu. Pekerjaan rumah tangga mulai dari memasak, membereskan rumah, mencuci dan mengeringkan baju (pakai mesin),menyetrika, sampai pindahan rumah juga dilakukan sendiri.
Sedangkan, untuk makanan tak perlu kuatir. Asalkan saja, kita tidak berpedoman bahwa kalau belum makan nasi itu belum makan. Karena, meski ada beras di supermarket, produk olahan gandum lebih dominan. Biasakan bisa makan roti, mie, pasta, jagung, atau ubi sebagai pengganti nasi. Toko-toko bahan makanan Asia memang ada, tapi tentu saja dengan harga yang kalau dikonversikan ke Rupiah bisa bikin kita geleng-geleng kepala. Apalagi makan di restoran. Kita akan dikenakan biaya tambahan/tip dengan jumlah yang telah ditentukan.
Jadi siasati dengan belajar memasak sendiri atau bikin sendiri bahan makanannya. Seperti misalnya tempe. Satu batang tempe di toko Asia harganya $3. Saya membeli kedelai (yang kualitasnya bikin saya kagum), beli ragi tempe online dari browsing internet, dan membuat tempe sendiri. Prosesnya memang memakan waktu, tapi lebih hemat. Bisa kita simpan untuk stok di kulkas atau dijual ke teman-teman seperantauan dari Indonesia.
Sementara, untuk makanan halal, daging sapi/ayam/domba atau bahan olahannya tersedia di toko halal yang biasa dikelola saudara muslim dari Timur Tengah. Tinggal cari resepnya di internet dan Anda akan kagum dengan hasil masakan sendiri. Alhasil, kalau ditanya apa oleh-oleh saya dari Amerika, jawabnya adalah saya jadi bisa memasak. Hahaha
Lalu, sekolah disana pun mudah. Wajib belajar selama 13 tahun dimulai pada usia 5 tahun. SD terdiri atas Kindergarten/TK-kelas 5, SMP kelas 6-8, SMA kelas 9-12. Tapi, karena usia anak saya belum genap lima tahun saat itu, ia baru bisa mendaftar di tahun ajaran baru berikutnya. Aturan batas usia masuk sekolah benar-benar diterapkan, disesuaikan dengan kesiapan mental anak.
Sekolah lima hari seminggu dengan jam masuk disesuaikan dengan tingkatan kelas. Untuk anak SD masuk sekolah jam 08.30–15.00. Waktu istirahat/makan siang 30 menit, ada waktu bermain, bahkan untuk Kindergarten ada waktu tidur siang di sekolah. Rata-rata jam belajar anak sekolah adalah 6 jam perhari.
Pendaftaran ke sekolah negeri/public school juga tak susah. Datang saja pada waktu pendaftaran ke sekolah negeri di wilayah kita tinggal. Bawa kartu identitas anak (paspor), kartu identitas orang tua, isi formulir, dan rekap riwayat imunisasi anak. Layanan imunisasi untuk anak usia 0 bulan-18 tahun oleh dokter, bisa didapatkan di bis imunisasi keliling secara gratis. Kita hanya ajak anaknya dan bawa kartu imunisasinya.
Semua anak usia wajib belajar akan diterima. Jumlah kelas yang dibuka tergantung jumlah pendaftar. Jadi bukan sebaliknya, seperti di Indonesia. Pemerintah menyediakan sekolah dengan fasilitas dan jumlah pengajar yang sesuai kebutuhan. Juga, orang tua tidak perlu repot mengantar jemput anak ke sekolah.
Karena ada bis sekolah gratis yang akan berhenti di depan tempat tinggal kita. Saya mengantar anak tiap pagi ke depan apartemen untuk menunggu bis, dan menjemputnya di tempat yang sama di sore harinya.
Kerjasama antara sekolah dengan orang tua juga mutlak adanya. Di tingkat TK, ada buku penghubung yang akan diisi oleh guru setiap hari dengan ikon smiley, star atau pesan khusus untuk orang tua murid. Komunikasi bisa lewat telepon/email. Ada juga pertemuan orang tua murid dengan guru yang terjadwal, tentang perkembangan belajar siswa. Peserta didik diberi reward bukan semata karena nilai akademisnya, tapi disesuaikan dengan bakatnya.
Di tingkat TK, anak-anak yang bahasa ibunya bukan Bahasa Inggris akan dimasukkan ke kelas khusus, bergabung dengan siswa berlatar belakang sama. Di kelas anak saya, ada 20 siswa yang berbicara dalam 8 bahasa ibu yang berbeda yaitu: bahasa Arab, Mandarin, Korea, Jepang, Pakistan, Spanyol, India dan Indonesia. Ada jadwal pertunjukan budaya negara asal di kelas, sesuai dengan tema yang ditentukan, misalnya makanan, pakaian, alat musik dan lagu. Benar-benar cara belajar yang menyenangkan.
Pelajaran TK lebih banyak bermain. Calistung tingkat dasar diajarkan dalam kegiatan mewarnai, membuat prakarya, atau membaca cerita. Seminggu sekali ada katalog dari sekolah tentang buku-buku baru yang memang khusus dipasarkan lewat sekolah. Harganya lebih murah dibandingkan dengan harga di toko buku. Budaya membaca telah ditanamkan sejak dini. Tak heran jika di sudut ruang tunggu, pasti ada bacaan seperti majalah, koran atau buku. Orang yang duduk disitu pun bukan sibuk bergosip melainkan asyik tenggelam dalam bacaannya.
Hak anak bermain di Amerika juga benar-benar dijamin. Di lingkungan sekolah, fasilitas taman bermain untuk anak disediakan. Lapangan olahraga yang luas, juga ruang untuk berkegiatan yang lengkap. Selain itu taman-taman bertebaran di sudut kota, dilengkapi dengan peralatan olahraga, lintasan lari, taman bermain anak dan kolam buatan yang asri. Bisa jadi tujuan berekreasi dengan keluarga tanpa biaya.
Ada juga perpustakaan umum yang nyaman dengan koleksi lengkap, yang memberikan kita keleluasaan untuk membaca dan meminjam buku. Tiap hari tertentu, ada kegiatan gratis sesuai tingkatan usia, misalnya story telling untuk anak pra-sekolah, prakarya atau bedah buku. Layanan online/e-book untuk pemegang kartu perpustakaan pun ada, dan semuanya gratis.
Kemidian untuk keramahan penduduk lokal bisa dinilai lebih dibandingkan warga kota besar di Indonesia. Saya selalu bertegur sapa dengan tetangga saat bertemu di pintu pagar apartemen. Sekedar say hello, bertanya kabar, tersenyum atau membukakan pintu. Padahal secara pribadi kami tak saling mengenal. Menjaga sikap dengan tetangga pun ada aturannya. Jika anda terlalu berisik saat ada acara di rumah atau bersuara ramai riuh rendah, tunggu saja, bakalan datang polisi yang menegur atau membubarkan acara itu, karena adanya laporan tetangga.
Sementara bicara menjadi muslim di Amerika, apalagi berhijab seperti saya bukanlah hal yang mudah. Musti pandai-pandai membawa diri karena identitas agama yang kita bawa menjadi cerminan muslim secara keseluruhan. Meskipun ternyata situasinya tak seekstrem yang sebelumnya saya bayangkan. Di kampus, teman-teman suami paham kenapa ia tidak ikutan hang out ke tampat hiburan.
Kadang kegiatan kemahasiswaan yang berbau agama lain pun ia lewatkan. Meski begitu tak ada pembedaan untuk hasil akhir studi. Berkat kerja kerasnya ia bisa menyelesaikan MBA dengan predikat cum laude. Bahkan saat wisuda, yang tampil ke panggung untuk mendapatkan penghargaan summa cum laude di program MBA adalah seorang wisudawati keturunan Palestina yang berhijab.
Sekarang saya dan keluarga telah kembali ke Indonesia dan tinggal di Jakarta. Kenangan selama tinggal di Amerika membuat saya bermimpi saya atau anak-anak akan bisa kesana lagi. Bukan tak cinta Indonesia. Tapi, hidup dengan keteraturan adalah satu hal yang patut dirindukan di tengah kesemrawutan Indonesia terutama Jakarta.
Tapi, impian itu saya wujudkan dulu di sini dengan melakoni hidup seperti saat di sana. Mulai dari hal-hal kecil, seperti membiasakan memakai helm dan seat belt, tidak menjadi buta warna saat lampu lalu lintas menyala, menerapkan driving safety di jalan raya, tidak membuang sampah sembarangan, tepat waktu, sabar mengantri, mengisi waktu dengan membaca buku, melibatkan anak dalam pekerjaan rumah tangga,......pun menekankan pada anak bahwa pencapaian nilai akademis itu perlu tapi yang lebih penting adalah ilmu.
Impian saya, anak-anak bisa melanjutkan sekolah di Amerika. Soal biaya, ada beragam bea siswa yang ditawarkan oleh berbagai institusi. Bekerja paruh waktu pun bisa menjadi pilihan untuk tambahan uang saku. Kalau dulu suami dan saya bisa, Insya Allah anak-anak akan mampu mewujudkannya. Syukur-syukur, siapa sangka, rezeki kami, membuat mereka bisa sekolah di sana. Rezeki sudah tertakar, tidak akan tertukar, tinggal kita jemput dengan doa dan ikhtiar. Insya Allah!
Merupakan antologi kisah inspiratif, berisi pengalaman penulisnya menjejakkan kaki di berbagai negara di dunia.
Diterbitkan pada : Februari 2016 (dicetak terbatas-sudah tidak dicetak lagi)
Penulis : Dayss Senja, Dian Restu Agustina, Dwina Mhae, Een Endah, Elisa Desrizal, Irawati, Meike Sumeler, Najah Khoiriyah, Nova, Ruhaini, Setyo Angga Prakoso, Supriyono, Syifa Rahmayani, Yuli Nur Fitrah, Zuniaty, Zahara.
Dan berikut adalah cerita saya...:
Dan berikut adalah cerita saya...:
AMERIKA
Antara Kenangan dan Impian
Semua berawal dari adanya pengumuman di kantor suami tentang seleksi bea siswa program Master ke luar negeri. Ia pun menyusun strategi untuk menyiapkan diri. Mewujudkan mimpinya sedari dulu untuk bisa bersekolah ke luar negeri. Mulai dari persiapan tes tertulis yang meliputi tes kemahiran berbahasa Inggris/TOEFL, pengetahuan umum, psikotes dan wawancara.
Buku-buku pendukung yang diperlukan, dibeli dan dipelajarinya. Secara intensif, ia juga mengasah kemampuannya berbahasa Inggris, yang selama ini memang didalami sendiri, tanpa pernah mengambil kursus privat. Ya, kemampuan berbahasa asing itu perlu sesuai dengan negara yang akan dituju. Sementara, saya mendukung penuh rencananya, membantu sebisa saya dan menyiapkan mental untuk kesempatan terbaik yang mungkin datang.
Akhirnya setelah proses selama beberapa bulan, suami saya lolos. Alhamdulillah! Ia berhak mendapatkan beasiswa penuh program MBA dan dipersilakan melakukan pendaftaran mandiri ke universitas/sekolah bisnis yang telah ditentukan, yaitu yang termasuk 100 besar terbaik dunia.
Pertama, menentukan dulu negara mana yang akan kami tuju. Dan, kami memilih Amerika. Alasannya, Amerika adalah pusat bisnis dunia. Bukankah lebih baik kita belajar pada ahlinya? Selain itu, program Master disana berlangsung selama 4 semester (2 tahun). Waktu yang pas untuk menempuh studi sembari menikmati suka duka tinggal di sana. Oh ya, di negara lain umumnya program Masternya lebih singkat, yaitu 2 atau 3 semester saja.
Setelah mengirimkan beberapa aplikasi, melengkapi persyaratan seperti esai dan tes wawancara via email/telepon, suami akhirnya diterima di Freeman School of Business di Tulane University, New Orleans. Singkat cerita, kami berempat - bersama dua anak kami berusia 4 tahun dan 2 bulan (saat itu saya baru saja melahirkan dengan persalinan sesar)- akhirnya bisa menginjakkan kaki di Amerika.
Awal mula hidup di negeri Paman Sam tak sesulit yang saya bayangkan. Dengan bantuan komunitas warga Indonesia yang tinggal disana juga dari pihak kampus, membuat urusan kami kelar dan lancar.
Pertama kali yang wajib diurus adalah kartu identitas diri. Kartu tersebut akan dipakai untuk membuka rekening bank, menyewa apartemen, membeli kendaraan, membuat SIM, dll.
Mempunyai rekening bank perlu, karena pihak bank akan memberikan kartu debit/kredit dan buku cek yang akan dipakai untuk hampir semua transaksi di Amerika. Pemakaian uang tunai untuk transaksi sudah jarang dilakukan.
Membeli kendaraan sebagai alat mobilitas di daerah yang moda transportasi massalnya belum lengkap, juga perlu. Mudah saja, tinggal bawa kartu identitas, pergi ke diler mobil bekas, tulis cek/bayar tunai, mobil langsung bisa dipakai. Oh ya, harga mobil bekas jauh lebih murah dibandingkan di Indonesia. Yang mahal adalah biaya perawatannya.
Hal yang sulit adalah saat pembuatan SIM. Mengemudikan kendaraan bermotor di Amerika adalah hak istimewa yang diberikan kepada individu. Sehingga untuk memperolehnya, tidaklah sembarangan. Tes teori dan tes mengemudi harus lulus 100%.
Sementara untuk SIM bisa didapatkan di wilayah lain, tidak harus di wilayah tempat tinggal kita. Saat itu saya membuat SIM di kota tetangga karena katanya lebih sepi pemohonnya. Beberapa hari kemudian, datang surat berisi cek sebesar $15 pengembalian kelebihan biaya SIM saya. Ternyata, di sana biayanya lebih murah dibandingkan dengan di kota tempat saya tinggal. Keren kan, uang susuk dikembalikan.
Oh ya, jika kita melanggar aturan lalu lintas, hukumannya pun tak main-main. Mulai dari surat tilang yang ditaruh di kaca depan mobil, surat denda yang disertai foto bukti pelanggaran yang dikirimkan ke rumah, pencabutan SIM, bahkan dipenjara. Semua tertib dan teratur, kalau melanggar pasti kena sanksi.
Kemudian tentang tempat tinggal, apartemen yang kami tinggali serupa dengan rumah-rumah kontrakan di Jakarta. Bedanya, bangunan berderet rapi, dengan peruntukan yang sesuai fungsi. Misalnya penghuni rumah nomor satu hanya berhak parkir di lot parkiran nomor satu. Jika Anda parkir sembarangan, dimanapun juga, jangan heran kalau 30 menit kemudian kendaraan sudah tidak ada di tempatnya lagi. Bukan hilang, tapi diderek oleh aparat berwenang atas laporan warga atau karena menyalahi aturan.
Antara penyewa dan pemilik apartemen juga ada perjanjian mengikat yang berisi hak dan kewajiban masing-masing. Jadi saat menghuni kita harus ikut merawatnya, begitu juga kalau ada kerusakan kita tinggal melaporkan. Semua ada payung hukum jadi tidak ada yang akan dirugikan.
Lalu, biasanya apartemen sudah dilengkapi dengan fasilitas standar seperti kompor, mesin cuci/pengering pakaian, AC/heater, kitchen set, mesin pemanas air. Untuk perkakas, saya membeli dengan harga miring dari garage sale yang biasanya diadakan warga setempat di hari Sabtu atau Minggu. Barang-barang yang tidak diperlukan lagi oleh pemiliknya dengan kondisi yang masih layak pakai, dijual dengan harga murah. Kita bisa beli sofa, peralatan dapur, mainan, buku, dan pernak pernik lainnya.
Selain itu saya juga bergabung di komunitas freecycle, yaitu komunitas yang antar anggotanya menawarkan/memberikan barang yang layak pakai secara gratis. Semua dilakukan secara online. Kita tinggal tawarkan saja barang yang akan kita berikan atau jika ada orang yang menawarkan sesuatu dan kita membutuhkan, silakan dikonfirmasi. Siapa cepat ia dapat. Barangnya beragam, mulai dari mainan, panenan buah, sepeda, mesin cuci bahkan mobil.
Lalu, di kampus, suami saya sangat menikmati masa kuliahnya. Mahasiswa lintas negara disatukan dalam berbagai tugas kelompok yang dipecahkan bersama. Kampus dengan fasilitas perpustakaan dan kegiatan kemahasiswaan yang lengkap. Kelas yang hidup dengan diskusi yang interaktif. Dosen yang sepenuhnya berinteraksi dengan mahasiswa sehingga tak merasa terasing satu sama lain. Tugas kuliah yang jelas dan memberikan keleluasaan pemahaman bagi masing-masing orang.
Bahan bacaan bisa dicari di perpustakaan ataupun beli buku bekas secara online. Di lembar penilaian tugas, selalu ada catatan dari profesor pengajar berisi komentar untuk perbaikan juga pujian. Penilaiannya secara personal. Jika perlu bantuan dosen, bisa ditemui langsung atau bertanya lewat email. Hingga meski ada kendala bahasa, dengan semangat dan kekuatan untuk bertahan, rintangan itu bisa diatasi oleh suami saya.
Tak hanya itu, kehidupan sehari-hari di Amerika membuat kita mandiri. Banyak pekerjaan harus dilakukan sendiri. Jangan harap kita bisa mempunyai asisten rumah tangga, pengasuh anak atau sopir pribadi seperti di Indonesia. Yang bisa membayar mereka hanya orang sekaliber artis Hollywood atau milyuner sekelas Donald Trump. Jadi, persiapan hidup mandiri itu perlu. Pekerjaan rumah tangga mulai dari memasak, membereskan rumah, mencuci dan mengeringkan baju (pakai mesin),menyetrika, sampai pindahan rumah juga dilakukan sendiri.
Sedangkan, untuk makanan tak perlu kuatir. Asalkan saja, kita tidak berpedoman bahwa kalau belum makan nasi itu belum makan. Karena, meski ada beras di supermarket, produk olahan gandum lebih dominan. Biasakan bisa makan roti, mie, pasta, jagung, atau ubi sebagai pengganti nasi. Toko-toko bahan makanan Asia memang ada, tapi tentu saja dengan harga yang kalau dikonversikan ke Rupiah bisa bikin kita geleng-geleng kepala. Apalagi makan di restoran. Kita akan dikenakan biaya tambahan/tip dengan jumlah yang telah ditentukan.
Jadi siasati dengan belajar memasak sendiri atau bikin sendiri bahan makanannya. Seperti misalnya tempe. Satu batang tempe di toko Asia harganya $3. Saya membeli kedelai (yang kualitasnya bikin saya kagum), beli ragi tempe online dari browsing internet, dan membuat tempe sendiri. Prosesnya memang memakan waktu, tapi lebih hemat. Bisa kita simpan untuk stok di kulkas atau dijual ke teman-teman seperantauan dari Indonesia.
Sementara, untuk makanan halal, daging sapi/ayam/domba atau bahan olahannya tersedia di toko halal yang biasa dikelola saudara muslim dari Timur Tengah. Tinggal cari resepnya di internet dan Anda akan kagum dengan hasil masakan sendiri. Alhasil, kalau ditanya apa oleh-oleh saya dari Amerika, jawabnya adalah saya jadi bisa memasak. Hahaha
Lalu, sekolah disana pun mudah. Wajib belajar selama 13 tahun dimulai pada usia 5 tahun. SD terdiri atas Kindergarten/TK-kelas 5, SMP kelas 6-8, SMA kelas 9-12. Tapi, karena usia anak saya belum genap lima tahun saat itu, ia baru bisa mendaftar di tahun ajaran baru berikutnya. Aturan batas usia masuk sekolah benar-benar diterapkan, disesuaikan dengan kesiapan mental anak.
Sekolah lima hari seminggu dengan jam masuk disesuaikan dengan tingkatan kelas. Untuk anak SD masuk sekolah jam 08.30–15.00. Waktu istirahat/makan siang 30 menit, ada waktu bermain, bahkan untuk Kindergarten ada waktu tidur siang di sekolah. Rata-rata jam belajar anak sekolah adalah 6 jam perhari.
Pendaftaran ke sekolah negeri/public school juga tak susah. Datang saja pada waktu pendaftaran ke sekolah negeri di wilayah kita tinggal. Bawa kartu identitas anak (paspor), kartu identitas orang tua, isi formulir, dan rekap riwayat imunisasi anak. Layanan imunisasi untuk anak usia 0 bulan-18 tahun oleh dokter, bisa didapatkan di bis imunisasi keliling secara gratis. Kita hanya ajak anaknya dan bawa kartu imunisasinya.
Semua anak usia wajib belajar akan diterima. Jumlah kelas yang dibuka tergantung jumlah pendaftar. Jadi bukan sebaliknya, seperti di Indonesia. Pemerintah menyediakan sekolah dengan fasilitas dan jumlah pengajar yang sesuai kebutuhan. Juga, orang tua tidak perlu repot mengantar jemput anak ke sekolah.
Karena ada bis sekolah gratis yang akan berhenti di depan tempat tinggal kita. Saya mengantar anak tiap pagi ke depan apartemen untuk menunggu bis, dan menjemputnya di tempat yang sama di sore harinya.
Kerjasama antara sekolah dengan orang tua juga mutlak adanya. Di tingkat TK, ada buku penghubung yang akan diisi oleh guru setiap hari dengan ikon smiley, star atau pesan khusus untuk orang tua murid. Komunikasi bisa lewat telepon/email. Ada juga pertemuan orang tua murid dengan guru yang terjadwal, tentang perkembangan belajar siswa. Peserta didik diberi reward bukan semata karena nilai akademisnya, tapi disesuaikan dengan bakatnya.
Di tingkat TK, anak-anak yang bahasa ibunya bukan Bahasa Inggris akan dimasukkan ke kelas khusus, bergabung dengan siswa berlatar belakang sama. Di kelas anak saya, ada 20 siswa yang berbicara dalam 8 bahasa ibu yang berbeda yaitu: bahasa Arab, Mandarin, Korea, Jepang, Pakistan, Spanyol, India dan Indonesia. Ada jadwal pertunjukan budaya negara asal di kelas, sesuai dengan tema yang ditentukan, misalnya makanan, pakaian, alat musik dan lagu. Benar-benar cara belajar yang menyenangkan.
Pelajaran TK lebih banyak bermain. Calistung tingkat dasar diajarkan dalam kegiatan mewarnai, membuat prakarya, atau membaca cerita. Seminggu sekali ada katalog dari sekolah tentang buku-buku baru yang memang khusus dipasarkan lewat sekolah. Harganya lebih murah dibandingkan dengan harga di toko buku. Budaya membaca telah ditanamkan sejak dini. Tak heran jika di sudut ruang tunggu, pasti ada bacaan seperti majalah, koran atau buku. Orang yang duduk disitu pun bukan sibuk bergosip melainkan asyik tenggelam dalam bacaannya.
Hak anak bermain di Amerika juga benar-benar dijamin. Di lingkungan sekolah, fasilitas taman bermain untuk anak disediakan. Lapangan olahraga yang luas, juga ruang untuk berkegiatan yang lengkap. Selain itu taman-taman bertebaran di sudut kota, dilengkapi dengan peralatan olahraga, lintasan lari, taman bermain anak dan kolam buatan yang asri. Bisa jadi tujuan berekreasi dengan keluarga tanpa biaya.
Ada juga perpustakaan umum yang nyaman dengan koleksi lengkap, yang memberikan kita keleluasaan untuk membaca dan meminjam buku. Tiap hari tertentu, ada kegiatan gratis sesuai tingkatan usia, misalnya story telling untuk anak pra-sekolah, prakarya atau bedah buku. Layanan online/e-book untuk pemegang kartu perpustakaan pun ada, dan semuanya gratis.
Kemidian untuk keramahan penduduk lokal bisa dinilai lebih dibandingkan warga kota besar di Indonesia. Saya selalu bertegur sapa dengan tetangga saat bertemu di pintu pagar apartemen. Sekedar say hello, bertanya kabar, tersenyum atau membukakan pintu. Padahal secara pribadi kami tak saling mengenal. Menjaga sikap dengan tetangga pun ada aturannya. Jika anda terlalu berisik saat ada acara di rumah atau bersuara ramai riuh rendah, tunggu saja, bakalan datang polisi yang menegur atau membubarkan acara itu, karena adanya laporan tetangga.
Sementara bicara menjadi muslim di Amerika, apalagi berhijab seperti saya bukanlah hal yang mudah. Musti pandai-pandai membawa diri karena identitas agama yang kita bawa menjadi cerminan muslim secara keseluruhan. Meskipun ternyata situasinya tak seekstrem yang sebelumnya saya bayangkan. Di kampus, teman-teman suami paham kenapa ia tidak ikutan hang out ke tampat hiburan.
Kadang kegiatan kemahasiswaan yang berbau agama lain pun ia lewatkan. Meski begitu tak ada pembedaan untuk hasil akhir studi. Berkat kerja kerasnya ia bisa menyelesaikan MBA dengan predikat cum laude. Bahkan saat wisuda, yang tampil ke panggung untuk mendapatkan penghargaan summa cum laude di program MBA adalah seorang wisudawati keturunan Palestina yang berhijab.
Sekarang saya dan keluarga telah kembali ke Indonesia dan tinggal di Jakarta. Kenangan selama tinggal di Amerika membuat saya bermimpi saya atau anak-anak akan bisa kesana lagi. Bukan tak cinta Indonesia. Tapi, hidup dengan keteraturan adalah satu hal yang patut dirindukan di tengah kesemrawutan Indonesia terutama Jakarta.
Tapi, impian itu saya wujudkan dulu di sini dengan melakoni hidup seperti saat di sana. Mulai dari hal-hal kecil, seperti membiasakan memakai helm dan seat belt, tidak menjadi buta warna saat lampu lalu lintas menyala, menerapkan driving safety di jalan raya, tidak membuang sampah sembarangan, tepat waktu, sabar mengantri, mengisi waktu dengan membaca buku, melibatkan anak dalam pekerjaan rumah tangga,......pun menekankan pada anak bahwa pencapaian nilai akademis itu perlu tapi yang lebih penting adalah ilmu.
Impian saya, anak-anak bisa melanjutkan sekolah di Amerika. Soal biaya, ada beragam bea siswa yang ditawarkan oleh berbagai institusi. Bekerja paruh waktu pun bisa menjadi pilihan untuk tambahan uang saku. Kalau dulu suami dan saya bisa, Insya Allah anak-anak akan mampu mewujudkannya. Syukur-syukur, siapa sangka, rezeki kami, membuat mereka bisa sekolah di sana. Rezeki sudah tertakar, tidak akan tertukar, tinggal kita jemput dengan doa dan ikhtiar. Insya Allah!
Penulis:
Dian Restu Agustina. Ibu rumah tangga dengan dua anak. Lahir di Kediri, Jawa Timur. Saat ini tinggal di Jakarta.
Waaaah, menarik banget pengalaman ti nggal di USA. Aku juga memimpikan lndonesia bisa kayak USA
BalasHapusMenarik sekali cerita tinggal di Amerika. Saya pun punya mimpi untuk bisa mendapat beasiswa dan tinggal di luar negeri, seperti yang Mbak bilang, bukan tidak cinta dengan negeri sendiri tapi saya ingin belajar banyak hal di negeri orang, terutama soal menghargai perbedaan, dimana kalau di Indonesia orang lebih cenderung menyukai keseragaman. Terima kasih untuk ceritanya mbak.
BalasHapusHai mbak Dian. Terimakasih untuk kisah inspiratif, optimis dan realistisnya tentang negeri impian mbak : USA. Semoga impian mbak kembali ke sana dan anak2 dapat melanjutkan pendidikan di sana, terkabul ya mbak. Aamiin
BalasHapusWahh seru banget cerita pengalaman dua tahun tinggal di negara Paman Sam. Duh negeri impian banget sih ini, pengennya sihh liburan syukur2 tp mahal belum sanggup.. Hehehe... wah seru pasti kalau bisa langsung ngerasain ambiance disana...
BalasHapusKak Dian ceritanya menginspirasi sekali. Impian dan cita cita harus di gantung setinggi mungkin. Biar semesta yang mengurusnya. Di negara negara maju keteraturan memang sudah menjadi jalan hidup warganya sehari hari. Akupun ingin sekali Jakarta dan Indonesia seperti itu.
BalasHapusAku setuju dengan Kakak mengenai ini
"impian itu saya wujudkan dulu di sini dengan melakoni hidup seperti saat di sana. Mulai dari hal-hal kecil, seperti membiasakan memakai helm dan seat belt, tidak menjadi buta warna saat lampu lalu lintas menyala, menerapkan driving safety di jalan raya, tidak membuang sampah sembarangan, tepat waktu, sabar mengantri, mengisi waktu dengan membaca buku, melibatkan anak dalam pekerjaan rumah tangga,......pun menekankan pada anak bahwa pencapaian nilai akademis itu perlu tapi yang lebih penting adalah ilmu."
Mulailah hal hal kecil dari diri sendiri. Setidaknya tidak menjadi pelaku.
Seru sekali kak pengalaman tinggal di luar negerinya, takjub aku tuh sama tata tertib dan fasilitas di sana. Sukses untuk impian-impiannya ya mbak
BalasHapusMerasakan tinggal di luar negeri juga menjadi impian saya. Sayang belum tercapai. Membaca pengalaman mbak Dian, saya seperti diingatkan lagi dengan impian itu.
BalasHapusBergizi tulisannya.. Aku tunggu tulisan tentang suasana Ramadhan di "negara itu" ya..hehe..
BalasHapussemoga aku bisa segera menyusul "living on American dream", aaamiin.
BalasHapusbagus tulisannya, selamat buat antologinya ya mba!
Sungguh jadi pengalaman luar biasa ya, Mba. Dengan segala keteraturan hidup disana juga membuatku kagum, jadi gak bisa sembarangan kalau mau melakukan sesuatu
BalasHapusKeren sekali ka pernah tinggal di Amerika, bacanya pun seneng banget dengan pengalaman ka dian selama disana, kalo impian ku akan berlabuh kemana ya.. ^^
BalasHapusSeneng baca tulisan kayak gini menginspirasi untuk ikutan tertib dalam hal apapun. Negara maju memang bagus seh Mba dalam hal aturan.
BalasHapusJadi.. banyak hal yang bisa kita terapkan dalam hidup yah setelahnya.
Semoga aja Indonesia bisa lebih tertib dalam hal apapun salah satunya lalu lintas hehehee.. you knowlah lalin di Jakarta hmm...
Wahhh ceritanya menarik banget kak. Dan aku seperti masuk ceritanya. Btw aku juga punya keinginan begini nih, ikut suami yang sedang kuliah atau kerja di negara Eropa. Ahh semoga suaru hari nanti terwujud. Aamiiin
BalasHapusMasya Allah. Keren sekali perjalanan hidupnya. Sekarang juga jadi lebih tahu, kenapa foto2 di IG sering di luar negeri.
BalasHapusBersyukur ya Mbak impiannya bisa terwujud, bisa punya pengalaman tinggal di Amerika. Insight yang aku dapat, suami Mbak Dian gigih banget untuk bisa mewujudkan impian, dan didukung juga oleh istri tercinta. Sukses selalu untuk keluarga Mbak Dian.
BalasHapusKeren banget Mba Dian tentang pengalaman berharganya, salut dengan perjuangannya Mba. Aminnn semoga anak-anak mba bisa lanjut seperti orang tuanya. Banyak hal yang aku petik dari tulisan Mba, tentu salah satunya tentang teraturnya hidup di negri Paman Sam. Yang beda banget sama disini, pating semrawut. Semoga next Jakarta bisa seteratur Amerika. Amin
BalasHapusWah menarik banget mba ceritanya, aku juga punya keinginan bisa menimba ilmu di negeri luar, semoga aja terwujud. Aamiin
BalasHapusTetiba ingin lanjut ke Harvard. Tapi pengen lanjut ke Belanda.. Dih banyakan pingin.
BalasHapusMasyaallah benar-benar saya kagum baca artikel ini, salut bisa sampai tinggal di sana Mbak
BalasHapusParagraph terakhir, rezeki tidak akan tertukar, maknanya memang demikian sih.
BalasHapusBTW, keren juga mbak suaminya bisa lulus cum laude di negara besar dan maju pendidikannya seperti Amerika ini.
selesai baca.. lsg speechless.. kuliah/kerja/tinggal di negara luar apalagi Amerika masih jadi harapan/keinginan.. asli mupeng sangat..
BalasHapusImpian aku di negara mana ya kak?? Hahah
BalasHapusTapi aku penganut, yang diimpikan bisa jadi kenyataan sih kak. Banyak hal ajaib yang ada di hidup kita.
Btw, memilih amerika benar benar pilihan tepat kak. Lingkungannya asik.
Hidup berkeluarga di belahan bumi yg lain sesuatu sekali ya ka, benar2 dituntut untuk mandiri ya. Salut buat perjuangannya
BalasHapusMenginspirasi bangetttt kak. Semoga suatu saat aku bisa kesana juga. Aamiin
BalasHapusTinggal di Amerika sudah tersistem rapi banget ya. Untungnya orang-orang kita suka membantu ya, jadi di negara orangpun bisa kompak. Beruntung banget mba bisa punya pengalaman tsb :)
BalasHapusaaaaa mbak diann, aku bangga bisa kenal sama mbak dian, bisa trip bareng pula. pengalaman yang gak bakal dilupakan ini ya mbakk, akupun sama punya mimpi suatu saat kelak anak-anakku bisa dapat beasiswa ke luarnegri seperti suami mbak dian, biar bisa mengenal negara lain yang beraneka ragam. btw itu buku karya mbak?? di gramed sdh adakah ??
BalasHapusSelalu suka sama tulisan perjanan mba Dian. Soalnya, jadi banyak belajar
BalasHapusWah seru banget pengalamannya Mbak. Bisa mendapat kesempatan untuk tinggal di luar negeri. Jadi punya banyak pengalaman dalam menjalani hidup. Mandiri dalam segala situasi. Bergaul dengan banyak orang dari latar belakang yang berbeda.
BalasHapusPengalaman yang luar biasa. Salut mbak, bener2 bukan cuma sekedar bermimpi tapi berusaha mewujudkannya. Mantap. Iya ya, kalau dilihat di negara lain itu semua serba tertib, teratur, bersih, disiplin dan warganya bener2 sadar menjalankannya ngga banyak protes. Semoga di Indonesia juga bisa seperti itu.
BalasHapusAmien ya Rabbal alamin mb Dian semoga terwujud apa yang dicita-citakan untuk anak-anak tercinta. Tinggal di luar negeri dengan segala penerapan aturan yang teratur bikin kita nyaman apalagi sekelas negara Amerika yang dikategorikan sebagai negara maju bikin kita betah ya mb, wong aku di Malaysia aja betah banget dan bedanya disini murceh dibandingkan disana.
BalasHapusSalut dengan metode pendidikannya juga ya, baca artikel ini jadi pengen tinggal di Amerika deh mb, impian sih pengennya di Eropa amien. Semoga Indonesia menyusul dengan segala aspeknya bisa teratur juga ya mb
Masyaallah... seneng banget baca tulisan ini... nggak semua dapat kesempatan emas seperti ini ya mbak? Dan Allah memang Maha Adil, yang diizinkan mendapat kesempatan adalah yang keras berusaha. Bahkan ketika menyelesaikan tugas yang diterima. Barakallahu fiikum wa ahlikum
BalasHapusDuh, mimpi yuni juga tinggal di Amerika. Bismillah, nggak ada yang nggak mungkin.
BalasHapusSeruuu bgt mba Diaaan.yup, bumi Allah itu luasss dan yuk kita bersemangat utk menjelajahinyaaa
BalasHapusAku jg pingin explore NY dan Florida nihh
Aku mimpi pengen kuliah S2 di luar negeri. Baca ini jadi terbakar semangat lagi. Aku lagi berjuang juga buat belajar bahasa inggris. Keren banget mba yg udah tinggal di luar bareng keluarga :) Doakaan yaa mba, semoga aku bisa kesana jugaa. Semoga keluarga mba sehat selalu :)
BalasHapusJadi inget anak ku yang sedang sekolah di Jepang dan memaksa istrinya ikut
BalasHapusTernyata ngga sesulit yang ditakutkan ya?
sebuah pengalaman yang seru ya mbak. Banyak keluarga saya tinggal di Amerika, saya pun bermimpi untuk tinggal disana. Terima kasih sudah berbagi pengalaman. Salam kenal
BalasHapusHuhuhu udah nulis panjang, hilang karena sinyal hiks.
BalasHapusBtw, nggak berhenti salut ama perjalanan hidup Mba Dian.
Pengalamannya keren banget, meski akhirnya dulu rela resign demi ikut suami, ternyata ikhlas mendampingi suami malah membuat Mba jadi bisa melihat dunia lebih luas lagi, lengkap dengan keluarga.
Kebayang banget masih 2 bulan pasca sesar harus terbang berjam-jam lamanya, mandiri di negara orang, masha Allah :)
Mbak Dian selalu menginspirasi. Pengalaman di Amerika menjadi sesuatu yang berharga, nggak hanya tembus sebagai kontributor menulis saja, sekaligus pengalaman nyata kehidupan mandiri yang lebih bermakna
BalasHapusPengalaman seru yah bisa stay di Amerika. Dulu pas remaja saya punya impian tinggal di Amerika, ternyata ga kesampaian hehe. Insya allah mudah2an Allah mudahkan saya bisa kesana berkunjung yah, aamiin.
BalasHapusSenangnya bisa ngerasain tinggal di amerika..
BalasHapusKangen pgn balik kesana g mbakk?
Alhamdulillah ya mbak bisa merasakan tinggal di Amrik, bukan hanya sekedar menginjakkan kaki disana malah stay 2 taun. Pasti kangen pengen balik ke sana lagi
BalasHapusSalam kenal dari Lamongan
Pengalaman yang luar biasa mbak, dari sini juga merubah sedikit pandangan saya tentang bagaimana tinggal di Amerika, khususnya untuk kepengurusan SIM, Sekolah, mencari bahan makanan halal, dll ternyata cukup mudah. Dan saya salut dengan sistem yg diterapkan di sana, semuanya teratur dan yg paling saya suka adalah jika ada ribut2 di tetangga, kita bisa minta polisi buat negur 😆 seandainya bisa gitu juga di Indonesia hihi. Btw, terima kasih sudah berbagi pengalamannya mbak, sangat menambah wawasan saya ❤️
BalasHapusMasyaAllah, pengalaman yang menginspirasi banget mbak. Jadi tidak ada yang tidak mungkin kalau mau berusaha ya mbak. Ah, mungkin aku sudah telat untuk bermimpi seperti itu tapi harapan itu ada untuk kedua anak-anakku bisa menuntut ilmu di negara impian mereka.
BalasHapusJadi dapet peogram beasiswa gitu bisa jiga membwa serta keluarga untuk tinggal di sana ya Mbak.
BalasHapusSeru banget pengalamannya Mbak
Dapat biaya hidup sama, Mbak, mau sendiri atau bawa keluarga.
HapusJadi suaim memutuskan keluarga ikut saja, masalah di sana cukup atau enggak...diatur dengan baik, Insya Allah cukup
Inspiratif sekali ceritanya mbak. Pasti bakal jadi pengalaman yang sangat berkesan bagi mbak dan keluarga yaa
BalasHapusMemang bagaimana pun bagusnya selalu bersama keluarga ya, Mbak kalau bisa mah.
BalasHapusMasyaAllah wahhh hebat mbaknya ini,,,
BalasHapusKreatif banget sampai bikin bahan makanan sendiri,, dan ternyata Amerika pun ramah dan toleran juga y