Workshop Pembuatan Tudung Karo, Bulang Simalungun dan Talitali
Workshop Pembuatan Tudung Karo, Bulang Simalungun dan Talitali. Temaaann, kain Ulos saat ini masih digunakan oleh masyarakat Batak sebagai kain dengan fungsi sakral dan fungsi simbolik untuk upacara adat, misalnya kegiatan mangulosi (menguloskan) sanak keluarga dan para tamu kehormatan sebagai pelambang kasih sayang, harapan, kebaikan maupun pemberian restu. Tapi, selain fungsi sakral dan simbolik, kini Kain Ulos digunakan pula untuk kepentingan profan (nonsakral) yaitu dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai produk fashion yang bernilai seni.
Nah, BATAK CENTER memandang perlu untuk mengenalkan secara utuh motif dan makna dalam Ulos itu dengan mengemasnya melalui program ULOS FEST 2019 atau dalam bahasa subsuku lain HIOU/UIS/OLES FEST 2019. Yang mana festival ini dilakukan dengan menampilkan beberapa kegiatan seperti seminar dan diskusi, pameran, pagelaran busana (fashion show), jelajah museum, atraksi seni dan tor tor serta bazaar. Harapannya, dengan mengetahui konsep "Motif, Ragam dan Makna Ulos", masyarakat dapat memahami pula ragam pemanfaatannya.
Tak hanya itu, diharapkan, kehadiran ULOS FEST 2019 yang dihelat di Museum Nasional Indonesia dapat memberikan manfaat bagi pelestarian budaya, khususnya budaya Batak di tengah arus globalisasi dan perubahan jaman yang semakin pesat saat ini.
Maka, sebuah kehormatan bagi saya -si Boru Jawa- bisa menghadiri salah satu sesi di Ulos Fest 2019 yang berlangsung dari 12-17 November 2019 ini, yakni Workshop Pembuatan Tudung Karo, Bulang Simalungun dan Talitali.
Tentang ULOS FEST 2019
Oh ya sebelumnya, sebagai informasi, pemerintah RI telah menetapkan kain Ulos Toba sebagai warisan budaya tak benda pada 8 Oktober 2014 melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 270/P/2014 tentang Penetapan Warisan Budaya TakBenda Indonesia Tahun 2014. Kemudian, setelah ditetapkan sebagai warisan takbenda nasional, kain Ulos Toba berpeluang didaftarkan sebagai warisan dunia (World Heritage).
Juga, kabar baiknya, beberapa tokoh dunia dan nasional menggunakan ULOS dalam pertemuan resmi nasional maupun internasional. Contohnya Presiden IMF Ny. Christian Lagarde menggunakan bahan Ulos sebagai pakaian dalam pertemuan World Economic Forum pada April 2018 di Bali. Juga, kedatangan Bapak Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana ke Kawasan Danau Toba pada akhir Juli 2019 ke Sentra Ulos menunjukkan perhatian dan komitmen dalam menyambut kekayaan budaya asal Sumatera Utara tersebut. Terakhir, pada Upacara Peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-74 di Istana Merdeka Ulos juga menjadi salah satu kain yang digunakan oleh peserta dalam upacara.
Nah, perubahan paradigma pemanfaatan dan pengembangan fungsi ulos ini, tidak jarang menciptakan kebingungan dan sekaligus kritikan di tengah masyarakat kita.
Di sisi lain, pada era milenial ini, kaum muda minim pengetahuannya tentang ulos dan pemaknaannya sehingga tidak memiliki kebanggaan, sebagaimana pameo 'tidak kenal maka tak sayang'. Untuk itu, dibutuhkan strategi dan terobosan-terobosan mengenalkannya agar masyarakat. termasuk kaum milenial mencintai dan melestarikan BATAK CENTER yang menjadikan motif Ulos Harungguan (motif Ulos yang menampilkan beragam puak Batak) pada logonya sebagai simbol pemersatu puak-puak Batak dalam satu kesatuan BATAK RAYA yang memiliki perhatian dan konsen terhadap Pelestarian Warisan Budaya Batak termasuk ULOS.
Potensi dan permasalahan yang ada inilah yang menjadi perhatian sekaligus tantangan BATAK CENTER untuk menemukan solusi atas dua arus pemikiran yang berkembang tersebut. Baik Ulos dalam pemanfaatannya untuk upacara adat maupun kepentingan profan (non-sakral) untuk keperluan Fashion dan/atau menampilkan identitas keberagaman di ruang publik.
Tujuan ULOS FEST 2019:
- Melestarikan Warisan Budaya Nasional sebagai penguatan jati diri dan karakter masyarakat yang beragam berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
- Memperkaya Masyarakat dalam memahami ragam pemanfaatan ulos dan pengembangannya.
- Mendukung Pemerintah pusat dan daerah dalam memperkuat Ulos sebagai Sumber Kesejahteraan Rakyat, destinasi industri, dan UKM.
- Mendorong Kain Ulos ditetapkan sebagai Warisan Budaya (World Heritage).
Waktu dan Tempat Pelaksanaan Rangkaian Kegiatan dilaksanakan pada:
Hari/Tanggal: Selasa-Minggu, 12-17 November 2019
Pukul: 08.00-18.00 WIB
Tempat: Museum Nasional Indonesia, JI. Medan Merdeka Barat No.12, Jakarta Pusat
Mengenal BATAK CENTER
Batak merupakan salah satu suku bangsa dari 1300 lebih suku bangsa di Indonesia, yang memiliki asal-usul dan/atau bermukim di seputaran Kawasan Danau Toba sampai ke pantai barat dan pantai timur Sumatera Utara. Pada awal sebelum Indonesia merdeka, orang Batak menyebut dirinya Bongso Batak, karena ada kemandirian dalam dirinya yang cukup memberi identitas Bangsa, yaitu :
- Memiliki wilayah atau kampung halaman sendiri di Kawasan Danau Toba
- Memiliki bahasa yaitu Bahasa Batak
- Memiliki aksara yaitu Aksara Batak.
Bangsa Batak disebut sebagai Suku Batak setelah Indonesia merdeka dari penjajahan Belanda yang diperjuangkan dan direbut bersama-sama dengan suku lainnya dan kemudian bersatu menjadi Bangsa Indonesia.
Nah, perjuangan Bangsa Batak melawan penjajahan Belanda terjadi di wilayah Tapanuli tahun 1878 sampai dengan 1907 yang dipimpin oleh Raja Sisingamangaraja XII. Perjuangan serupa terjadi juga di daerah lainnya di sekitar Kawasan Danau Toba sampai ke pantai barat dan pantai timur Sumatera Utara.
Selanjutnya pada 1928, pemuda-pemudi Batak yang tergabung dalam Jong Batak bersama-sama pemuda dari suku lainya menyatakan komitmen keindonesiaan melalui pernyataan bersama Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 yang embrionya telah ada sebelum lahirnya Organisasi Boedi Oetomo pada 1908.
Semua suku membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Dalam semangat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, resmilah Bangsa Indonesia terbentuk dan dideklarasikan pada saat Proklamasi 17 Agustus 1945.
Pada perkembangannya, masyarakat Suku Batak yang mendiami dan bermukim di berbagai tempat di Kawasan Danau Toba, yang selanjutnya menjadi kampung halaman puak-puak Batak, yaitu (diabjadkan):
- Batak Angkola/Mandailing
- Batak Karo
- Batak Pakpak
- Batak Simalungun
- Batak Toba
- Orang-orang yang menyandang identitas suku Batak, yaitu saudara-saudaranya dari suku atau etnik atau bangsa lain yang diberikan marga Batak, telah hidup menyebar ke seluruh pelosok tanah air di Indonesia maupun luar negeri.
Penandanya adalah orang tersebut memiliki nama keluarga (marga) di belakang namanya, berjiwa kekerabatan Batak dan mempunyai silsilah. Yang jelas mulai dari nenek moyangnya, yaitu pemberi marga yang pada awalnya merupakan nama sendiri, bahkan sampai pada garis keturunan awal mulai dari manusia Batak pertama, yaitu si Raja Batak.
Pada abad modern dengan semua ciri-cirinya yang luar biasa banyak dan terus berkembang, menjadi penghalang dan kendala besar untuk memelihara jatidiri dan budaya Batak tersebut. Manusia, bila tercerabut dari jatidiri dan budaya yang kemungkinan besar akan menjadi manusia yang sekadar hidup dan tidak memikirkan generasi penerus, apalagi peduli dengan masa lalu generasinya dan kampung halamannya.
Nah, pada umumnya, manusia yang demikian melayang-layang di arus pergaulan dunia karena tidak mempunyai akar yang kuat yaitu jatidirinya. Akibatnya, etnik dan suku dengan budayanya akan punah.
Sementara, perubahan dunia yang begitu cepat disertai arus globalisasi yang kuat pula, mengakibatkan percepatan dan memperbesar manusia semakin individualistis, egoistis, bahkan makin merasa asing satu sama lain. Salah satu upaya untuk mengatasi fenomena ini dengan cara melestarikan dan mengembangkan jatidiri, budaya, dan cinta kampung halaman.
Seperti kita ketahui, kebudayaan Batak tergolong tua dan memiliki nilai dasar dan nilai luhur Habatakon yang tercermin dari filsafat, sistem kepercayaan, sistem mata pencaharian, sistem pertanian, sistem teknologi, penanggalan, kesehatan, bahasa dan kesusasteraan, aksara, legenda, ilmu astronomi, benda arkeologi, kesenian serta adat-istiadat yang mengatur kehidupannya. Nilai-nilai ini disebut Dalihan Na Tolu/Dalian Na Tolu/Tolu Sahundulan/ Rakut Sitelu/Dalikan Sitelu, kearifan lokal dalam melestarikan lingkungan hidup dan tata cara dalam pergaulan sehari-hari serta mempunyai semangat belajar yang tinggi dan berdiaspora.
Nah, untuk memelihara dan mengembangkan nilai-nilai Habatakon, memberdayakan generasi muda Batak, dan berkontribusi untuk pembangunan jatidiri bangsa dalam bingkai keberagaman, serta menjadi pusat nurani orang Batak dalam mempertemukan arus-arus kebudayaan yang berbeda dan saling bersinergi, maka disepakati membentuk perkumpulan Pusat Habatakon atau yang lebih populer disebut BATAK CENTER.
Nah, pada umumnya, manusia yang demikian melayang-layang di arus pergaulan dunia karena tidak mempunyai akar yang kuat yaitu jatidirinya. Akibatnya, etnik dan suku dengan budayanya akan punah.
Sementara, perubahan dunia yang begitu cepat disertai arus globalisasi yang kuat pula, mengakibatkan percepatan dan memperbesar manusia semakin individualistis, egoistis, bahkan makin merasa asing satu sama lain. Salah satu upaya untuk mengatasi fenomena ini dengan cara melestarikan dan mengembangkan jatidiri, budaya, dan cinta kampung halaman.
Seperti kita ketahui, kebudayaan Batak tergolong tua dan memiliki nilai dasar dan nilai luhur Habatakon yang tercermin dari filsafat, sistem kepercayaan, sistem mata pencaharian, sistem pertanian, sistem teknologi, penanggalan, kesehatan, bahasa dan kesusasteraan, aksara, legenda, ilmu astronomi, benda arkeologi, kesenian serta adat-istiadat yang mengatur kehidupannya. Nilai-nilai ini disebut Dalihan Na Tolu/Dalian Na Tolu/Tolu Sahundulan/ Rakut Sitelu/Dalikan Sitelu, kearifan lokal dalam melestarikan lingkungan hidup dan tata cara dalam pergaulan sehari-hari serta mempunyai semangat belajar yang tinggi dan berdiaspora.
Nah, untuk memelihara dan mengembangkan nilai-nilai Habatakon, memberdayakan generasi muda Batak, dan berkontribusi untuk pembangunan jatidiri bangsa dalam bingkai keberagaman, serta menjadi pusat nurani orang Batak dalam mempertemukan arus-arus kebudayaan yang berbeda dan saling bersinergi, maka disepakati membentuk perkumpulan Pusat Habatakon atau yang lebih populer disebut BATAK CENTER.
Workshop Pembuatan Tudung Karo, Bulang Simalungun dan Talitali Toba
Workshop Pembuatan Tudung Karo, Bulang Simalungun dan Talitali Toba
Nah, pada rangkaian kegiatan ULOS FEST 2019 ini ada satu sesi yang saya ikuti yakni Workshop Pembuatan Tudung Karo, Bulang Simalungun dan Talitali. Acaranya dikemas dalam tajuk "Head Cloth Workshop (Tudung, Bulang, Talitali)" dan berlangsung di ruang Auditorium Museum Nasional Indonesia pada hari Jumat, 15 November 2019 silam.
Sedangkan pematerinya adalah:
- Bapak Jerry Sirait - Talitali Toba
- Ibu Rosida Barus - Tudung Karo
- Ibu Diana Saragih - Bulang Sulappei Simalungun
Ketiga pemateri menyampaikan bahasan dengan apik dan santuy, pun memberikan kesempatan pada peserta mempraktekkannya di acara jika menghendaki. Pokoknya, beneran workshop yang membuka mata saya khususnya tentang Ulos terutama penggunaannya sebagai penutup kepala.
Saya dan sekitar 20-an lebih peserta lainnya (peserta memang dibatasi maksimal hanya 30 orang) ceria di sepanjang sharing tentang Talitali oleh Pak Jerry Rudolf Sirait ini. Beliau yang juga Sekjen BATAK CENTER dan Badan Pengawas Yayasan Pecinta Danau Toba (YPDT) ini menjelaskan tentang Talitali dengan gaya khas yang unik sehingga mudah dimengerti peserta yang mengikuti.
Pak Jerry, mengawali materi dengan salam "Horaaas!!", seraya menyebutkan bahwa Horas adalah salam khas Batak yang merupakan sebuah ungkapan yang sangat luas. Misalnya, ungkapan rasa kegembiraan, syukur serta pengharapan untuk kesempatan, kesehatan dan rezeki dari Tuhan Yang Maha Esa. Yang mana penerapannya bisa saat perjumpaan atau perpisahan juga sebagai salam pembuka dan penutup sebuah acara. Horas is Horas, di mana pengucapannya tidak bisa digantikan dengan sapaan lainnya seperti selamat pagi, apa kabar, .... dan salam lainnya, demikian Pak Jerry menjelaskan.
Selanjutnya untuk seputar Ulos dan Talitali, Pak Jerry membagikan pengetahuan, diantaranya:
Selanjutnya ada Ibu Rosida Barus yang menyampaikan materi seputar tudung Karo yang juga memberikan beberapa wawasan:
Kemudian ada Ibu Diana Saragih yang membagikan tentang Bulang Simalungun, diantaranya:
Baiklah, demikian informasi tentang Workshop Head Cloth (Tudung Karo, Bulang Simalungun dan Talitali Toba) yang berlangsung singkat, sekitar 2 jam saja tapi benar-benar memberi banyak pengalaman baru bagi saya.
Terima kasih sudah membaca dan mohon maaf jika tulisan ini tidak lengkap karena memang lebih banyak prakteknya dan banyak hal yang saya khawatirkan salah dalam penulisannya. Oh ya, untuk selengkapnya visualisasi workshop bisa dilihat di IG Story saya UlosFest2019 ya, teman-teman!
Dan....buat teman-teman yang ingin mendapatkan informasi atau mungkin ingin mempelajari silakan langsung menghubungi BATAK CENTER di sini:
- Talitali Toba - Bapak Jerry Sirait
Saya dan sekitar 20-an lebih peserta lainnya (peserta memang dibatasi maksimal hanya 30 orang) ceria di sepanjang sharing tentang Talitali oleh Pak Jerry Rudolf Sirait ini. Beliau yang juga Sekjen BATAK CENTER dan Badan Pengawas Yayasan Pecinta Danau Toba (YPDT) ini menjelaskan tentang Talitali dengan gaya khas yang unik sehingga mudah dimengerti peserta yang mengikuti.
Pak Jerry, mengawali materi dengan salam "Horaaas!!", seraya menyebutkan bahwa Horas adalah salam khas Batak yang merupakan sebuah ungkapan yang sangat luas. Misalnya, ungkapan rasa kegembiraan, syukur serta pengharapan untuk kesempatan, kesehatan dan rezeki dari Tuhan Yang Maha Esa. Yang mana penerapannya bisa saat perjumpaan atau perpisahan juga sebagai salam pembuka dan penutup sebuah acara. Horas is Horas, di mana pengucapannya tidak bisa digantikan dengan sapaan lainnya seperti selamat pagi, apa kabar, .... dan salam lainnya, demikian Pak Jerry menjelaskan.
Selanjutnya untuk seputar Ulos dan Talitali, Pak Jerry membagikan pengetahuan, diantaranya:
- Ulos membersamai kehidupan orang Batak sejak dia lahir hingga meninggal
- Ulos dipakai di sebelah kiri jika seseorang masih berstatus gadis, kalau sudah menikah di sebelah kanan. Sementara untuk pria selalu di sebelah kanan pakainya
- Ada pergeseran pemakaian Ulos pada masyarakat, misalnya: pemakaian Ulos seharusnya yang bercorak di sebelah dalam dan yang polos di bagian luar. Tidak seperti sekarang, bagian bermotif di bagian luar, padahal ini menandakan kesombongan (karena dalam coraknya ada nilai-nilai kepemilikan keluarga dan harta benda)
- Dulu kala orang (dewasa) Batak yang meninggal itu dipocong dengan menggunakan 3-5 ulos. Tidak seperti sekarang yang hanya membawa selembar ulos saja (ini seharusnya untuk bayi yang meninggal)
- Terjadi pemakaian yang tidak seharusnya seperti misalnya: saat Presiden Jokowi menghadiri Karnaval Kemerdekaan Pesona Danau Toba pada Agustus 2016 dan menggunakan sortali biasa (imitasi) dan bukan yang ada emasnya. Harapannya, lain kali para tetua Batak dilibatkan untuk memberikan saran agar benar peruntukannya
pic by gapuranews com |
- Tudung Karo - Ibu Rosida Barus
Selanjutnya ada Ibu Rosida Barus yang menyampaikan materi seputar tudung Karo yang juga memberikan beberapa wawasan:
- Tudung Karo khusus dipakai untuk perempuan
- Tudung ini terbuat dari kain Karo atau disebut dengan Uis
- Agar motif ada di bagian depan maka harus diperhatikan cara peletakan ulos di bagian kepala
- Saat ini peminat yang mau belajar pemakaian Tudung Karo ini makin berkurang, anak muda banyak yang enggan mempelajarinya
- Tudung Karo aslinya dibuat dari 3 lembar Uis. Tapi, kini agar tidak terasa berat di kepala maka disiasati dengan hanya 1 lembar saja dan dibantu koran yang digulung untuk menegakkannya
- Bulang Simalungun - Ibu Diana Saragih
Kemudian ada Ibu Diana Saragih yang membagikan tentang Bulang Simalungun, diantaranya:
- Bulang ada yang dipakai di keseharian yang disebut Bulang Sulappei dan Bulang Teget yang langsung siap pakai untuk acara resmi, seperti yang dikenakan Ibu Iriana Jokowi pada Perayaan HUT RI ke-74
- Cara pemakaiannya sederhana dengan memperhatikan letak corak agar motif tepat berada di bagian atas kepala
- Untuk kainnya lambang perempuan ada motif seperti lekukan badan.
- Bulang untuk perempuan yang sudah menikah dikenakan dengan posisi lebih tinggi di sebelah kanan yang bermakna istri selalu menjunjung tinggi derajat suami yang ada di sampingnya
- Makna dan simbol yang terdapat pada ornamen Bulang memiliki makna dan pada dasarnya menjujung tinggi nilai-nilai budaya Simalungun seperti nilai kewibawaan dan tanggung jawab
pic by idntimes |
Baiklah, demikian informasi tentang Workshop Head Cloth (Tudung Karo, Bulang Simalungun dan Talitali Toba) yang berlangsung singkat, sekitar 2 jam saja tapi benar-benar memberi banyak pengalaman baru bagi saya.
Terima kasih sudah membaca dan mohon maaf jika tulisan ini tidak lengkap karena memang lebih banyak prakteknya dan banyak hal yang saya khawatirkan salah dalam penulisannya. Oh ya, untuk selengkapnya visualisasi workshop bisa dilihat di IG Story saya UlosFest2019 ya, teman-teman!
Dan....buat teman-teman yang ingin mendapatkan informasi atau mungkin ingin mempelajari silakan langsung menghubungi BATAK CENTER di sini:
BATAK CENTER
Jl. Tanah Abang II No 41 Petojo Selatan, Jakarta Pusat
FB: Batak Center | IG: BatakCenterWeb | Twitter: BatakCenter
Salam Bhinneka Tunggal Ika
Dian Restu Agustina
Kain ulos sekarang ini sudah banyak beredar di pasaran, ya. Jadi gampang untuk ditemui. Pernah lihat kain ulos tapi didesain jadi kaya cardigan gitu, cantik banget motifnya.
BalasHapusbagus juag ya sudah ada yang dibuat jadi baju
BalasHapusDulu waktu di medan sering liat tudung begini, kalau yang simple kadang mamak-mamak yang yjualan di pajak (pasar)pun pakai, atau pas lagi upacara adat begitu.
BalasHapusTernyata bermacam-macam jenisnya ya untuk model penutup kepala ala Masyarakat Batak. Kalau kain ulos juga ada aturan pakainya juga ternyata. Wah menarik sekali ya Mbak, bisa belajar secara langsung tentang budaya daerah seperti ini.
BalasHapusMotif kain ulos cantik-cantik,ya..
BalasHapusAsyiknya bisa belajar langsung membuat Tudung Karo, Bulang Simalungun dan Talitali. Sambil belajar kebudayaan Batak juga ya ...
Workshopnya keren dan seru ya, dulu waktu masih di dunia weddding aku cukup familiar dengan budaya batak karena punya klien keluarga batak, luar biasa ya kekeluargannya. Ulos ini juga lambang kebudayaan dan kekeluargaan yang erat ya
BalasHapusBaru² ini temenku nikah, pakai tudung Karo itu. Aku baru lihat. Soalnya kan di Sunda jarang hadir ke pernikahan marga Batak. Cantik menurutku sih. Ternyata ada tekniknya yah...
BalasHapusSaya suka ulos. Dan memang penasaran bagaimana mengenakannya menjadi tudung kepala. TFS mbak dian.
BalasHapusOrang Batak emang kenceng banget kalau masalah budaya, tradisi dan ikatan kekeluargaan. Salut sama mereka. Dan untuk ulos sendiri memang sudah saatnya menjadi salah satu warisan dunia. Setaralah sama batik. Kaya ragam corak dengan tingkat kesulitan pembuatan yg kurang lebih sama. Oh ya, kapan hari aky melihat tetanggaku memakai tudung, ditunjukkan cara pakainya tp tetep blm bisa. Kayaknya gampang aja, to ada tekniknya ya
BalasHapus