Mengunjungi Candi Muara Jambi
"Pulau Emas, Suwarnadwipa dalam bahasa Sanskerta - kini Sumatera, di Indonesia - berada di persimpangan Jalur Laut Buddha, yang mendaulatnya dari Jalur Sutera lintas benua pada abad ke-7. Di jantungnya lahir sebuah pusat pengetahuan maha luas, yang menarik orang-orang bijak dari Cina dan India, seperti I-Tsing dan Atisha. Ajaran-ajarannya menyebar hingga ke Tibet. Sekitar abad ke-13, universitas itu terlupakan. Kini kawasan ini, Muara Jambi, dihuni oleh masyarakat adat Islam. Mereka adalah juru mimpi bagi riwayatnya, para pendayung yang membawa daya ingatan di seberang sungai waktu" (Mimpi-Mimpi dari Pulau Emas - Rêves de l'île d'Or - Elizabeth D. Inandiak)
Buku "Mimpi-Mimpi dari Pulau Emas"
Kutipan pembuka artikel ini berasal dari buku berjudul "Mimpi-Mimpi dari Pulau Emas" yang saya beli saat mengunjungi Kawasan Percandian Muara Jambi beberapa waktu sebelum pandemi.
Buku menarik yang dijajakan di lapak cinderamata di area parkir kompleks percandian agama Hindu-Buddha terluas di Asia Tenggara, yang sejak awal sudah memikat hati saya.
Pasalnya, buku disajikan dalam 4 bahasa oleh: Elizabeth D. Inandiak (original story in French), Marie-Louise Broch - Alex Dea - Elizabeth D. Inandiak (English version), Pan Cheng Lui (Chinese version), serta Wahyu Adi Putra Ginting - Roy Mardianto - Elizabeth D. Inandiak (Indonesian version)
Juga didukung beberapa ahli penerjemah tulisan Tibetan, Sanskrit, Chinese Calligraphy, Arabic Calligraphy, Tibetan Calligraphy dan pendukung isi serta desain lainnya.
Sungguh sebuah project budaya yang luar biasa!! Di mana disebutkan juga bahwa buku bisa diterbitkan dengan dukungan sepenuh hati dari Jean-Paul Chantraine, CEO ASIA - agen perjalanan yang sangat berkomitmen - yang pada kunjungan eksplorasi ke Muara Jambi tahun 2013 terpesona akan keajaiban perguruan tinggi Buddha yang kuno ini dan masyarakat adat Islam yang waskita yang kini menempatinya.
Dikisahkan, pada tahun 671, peziarah Cina, I-Tsing berlayar dengan kapal Persia dari pelabuhan Canton ke India untuk mempelajari agama Buddha. Perjalanan Xuanzang, seorang biksu dan penerjemah terkenal yang meninggal beberapa tahun sebelumnya telah menginspirasinya.
Hanya saja I-Tsing tidak menempuh Jalur Sutera karena menurunnya permintaan sutera Cina dan kawasan tersebut sering terhalang perang antar wangsa: Tang Cina, orang Arab, Tibet dan Turki Timur.
Membuat I-Tsing menjadi sejarawan Buddha pertama yang menulis jalur laut yang baru, berlayar ke selatan menuju kepulauan Melayu, melewati Pulau Sumatera melalui Selat Malaka menuju India.
Disebutkan, setelah berlayar selama 20 hari, kapal sampai di Bhoga, membuatnya menetap di sini enam bulan lamanya, seraya mempelajari bahasa Sanskerta. Membuat Raja, mengulurkan bantuan dan mengirimnya ke negeri Melayu yang di kemudian hari bernama Sribhoga.
I-Tsing pun lanjut melaju ke India dan tinggal 18 tahun di Nalanda, perguruan tinggi kewiharaan Buddha Mahayana terbesar di eranya. Di perjalanan pulang, ia singgah lagi selama beberapa tahun di kerajaan Sribhoga yang juga disebutnya San-fo-ts'i atau Melayu.
Di loka yang berbenteng ini, seribu biksu menekuni semua mata pelajaran yang sama seperti di Nalanda: mantik, tata bahasa, kesenian, ilmu pustaka dan pengobatan, serta metafisika dan filsafat. Di sini pula I-Tsing menyalin ratusan naskah Sanskerta sebelum akhirnya kembali ke Cina pada tahun 694.
Kini di negeri Sribhoga, ada sebuah desa: Muara Jambi, di mana penghuninya tinggal di rumah-rumah panggung di tepi sungai Batanghari, sungai terpanjang di Sumatera.
Tentang Kawasan Percandian Muara Jambi
"Percandian Muara Jambi yang di dalamnya tersimpan lebih dari 80 reruntuhan candi dan sisa-sisa permukiman kuno dalam rentang abad IX-XV Masehi, membentang dari barat ke timur di tepian Sungai Batanghari sepanjang 7,5 kilometer. Kompleks percandian ini dapat ditempuh melalui darat dengan jarak dari Kota Jambi sekitar 30 Km."
Saat membaca informasi yang tertera di laman resmi pemerintah provinsi Jambi, saya membayangkan betapa luasnya area Percandian Muara Jambi ini. Luasan total kawasan adalah 12 km persegi atau setara 8 kali lebih luas dari Candi Borobudur membuat saya mereka-reka lamanya waktu dan pegalnya kaki saat mengelilingi.
Tapi, ternyata yang sudah selesai restorasi baru beberapa, karena yang lainnya masih berupa reruntuhan. Meski jika diniati seluruh kawasan ini bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau dengan menggunakan perahu kecil, lantaran letaknya di antara pertemuan sungai Batang Hari dan anak sungainya.
Kawasan Percandian Muara Jambi tepatnya berlokasi di Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Akses menuju ke komplek candi yang pertama kali dilaporkan pada tahun 1820 oleh seorang Letnan Inggris bernama SC Crooke yang melakukan pemetaan daerah aliran sungai untuk kepentingan militer ini, sudah halus mulus. Sehingga jika lancar jaya 20 menitan berkendara pun sampai ke tekape dari pusat kota.
Kawasan yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Muaro Jambi ini mengenakan retribusi tanda masuk sebesar Rp 5.000 untuk dewasa dan Rp 3.000 untuk anak-anak. Saat tiba, pengunjung diarahkan ke tempat parkir kendaraan yang rapi di mana di sekelilingnya ada lapak-lapak penjual makanan/minuman dan cinderamata.
Mengarah ke komplek percandian, sepanjang 500 meter ke dalam, di sepanjang jalan ada deretan sepeda dengan beraneka pilihan yang disewakan untuk pengunjung. Saya pikir dengan moda ini pasti makin mudah menuju candi satu ke lainnya.
"Ayo, Kak, sewa sepedanya, 10 ribu saja!"
Tapi, karena diniati jalan kaki karena mau berhenti sana-sini, buat pepotoan dan meresapi kisahnya jadi kami abaikan tawaran menggoda ini! Hihihi
Dan ternyata keputusan saya tepat, karena sampai lokasi yang main sepeda itu banyaknyaaa...Kalau hati-hati sih enggak apa-apa, karena ada yang kejar-kejaran sampai saya kuatir kalau nabrak ke situs candinya yang masih ada dan berserakan di sana. Duh!
Oia, setelah melewati gerbang, nampak lapang lokasi dengan rumput hijau terhampar. Candi di beberapa tempat nampak tidak utuh lagi. Maklum, baru tahun 1954, pemerintah Indonesia mulai melakukan pemugaran yang serius dipimpin ahli purbakala Indonesia, Soekmono. Dan sejak itu proses penggalian oleh para ahli purbakala pun dimulai.
Namun pengelolaan mengalami kemunduran karena keberadaan industri batubara (dulu) dan sawit (kini) yang baik proses maupun limbahnya merusak lingkungan sekitar. Juga, hunian penduduk yang masif di wilayah adat setempat beserta kegiatan penunjang wisata massal yang makin memperparah keadaan.
Kini, memang kawasan nampak tertata rapi dan sudah ada bangunan museumnya, meski antusias pengunjung masih kurang untuk mau masuk ke dalamnya. Muara Jambi sudah menjadi sebuah destinasi yang akan mengedukasi pun mampu menumbuhkan rasa bangga akan sejarah yang ditorehkan para pendahulu kita.
Tapi, sayangnya tak ada pemisahan antara situs dan area pengunjung yang lalu lalang dengan sepeda, berjejer lapak makanan/minuman kaki lima di dalam kawasan yang sama, rombongan keluarga besar yang piknik dengan membawa tikar dan makanan dengan sampah berserakan setelahnya!! (Maaf, saya membandingkan dengan pengelolaan candi Borobudur dan Prambanan, di mana candi lebih steril dari kegiatan "piknik" seperti ini)
Mengapa Muara Jambi Sempat Terabaikan?
Sriwijaya digulingkan pada tahun 1025 oleh kerajaan Hindu Chola dari India Selatan yang menguasai Selat Malaka. Melayu mampu bertahan lebih dari dua abad setelahnya. Pada abad ke-15, Islam menyebar perlahan berkat Raja Orang Kayo Hitam.
Lalu, mengapa Muara Jambi sempat terlupakan? Apa bencana alam telah meluluhlantakkan kawasan ini? Adakah serbuan dari sebuah kerajaan yang menghancurkan negeri ini? Mungkinkah terjadi tsunami di pesisir Sumatera? Adakah ombak besar yang menelan Batanghari hingga sampai ke Muara Jambi?
Adalah Atisha Dipamkara Shrijnana, yang menulis dalam bahasa Tibet sebuah catatan "Perjalanan Menjumpai Sang Guru".
Lahir pada tahun 980, Ayahnya adalah Raja Sahor, sebuah kerajaan di India bagian timur. Di usia remaja ia mengembara mencari pengetahuan, serupa I-Tsing di Mahawihara Nalanda hingga ditahbiskan sebagai biksu Buddha pada 29 tahun usianya.
Di tahun 1012 Atisha mengarungi lautan bersama 125 murid dan sekelompok pedagang dari Gujarat yang hendak mencari emas, menuju kerajaan Melayu yang saat itu dijuluki Suwarnadwipa atau Pulau Emas.
Ia ingin menemui Serlingpa, manusia dari Pulau Emas yang adalah guru paling disayanginya. Kemudian ia tinggal untuk melanjutkan laku menyimak, merenung dan samadhi selama 12 tahun di sini. Di tahun 1025 ia pulang ke India membawa ajaran berharga dari gurunya.
Raja Tibet Barat, Yeshe O, pada 1041 mengundang Atisha dan memintanya menyatukan semua segi ajaran Buddha: Theravada, Mahayana, Vajrayana. Selama 13 tahun di Tibet hingga kematiannya di tahun 1054, ajaran Atisha telah menyatukan semua aliran Buddha, dari sutra sampai tantra, dan amat memengaruhi agama Buddha Tibet.
Memang Atisha punya banyak guru, tapi semua catatan riwayat hidupnya menyebutkan, saat menyebut nama Serlingpa, air matanya berlinang mengingat kebaikan dan budi baik guru dari Pulau Emas itu.
Lalu, siapa Serlingpa?
Serlingpa, anak raja Sribogha yang pada usia 21 tahun pergi ke Vajrasana, India dan berguru pada Mahasriratna. Seminggu dari waktu itu Sang Guru menghilang. Serlingpa pun mencari ke seluruh India dan di tahun ketujuh, dalam mimpinya ia bicara dengan gurunya dan bersumpah membaktikan diri bagi kebaikan sesama. Dalam satu hembusan napas, Mahasriratna meneruskan ke muridnya 10 bab Bodhicaryavatara, karya Mahaguru Shantidewa.
Jadi, malapetaka apa yang sejatinya terjadi sehingga Pulau Emas yang dulunya dikunjungi mahaguru dari Cina dan India, kemudian - menurut nenek moyang warga Muara Jambi - menjadi tempat pembuangan penderita kusta, lalu hanya meninggalkan puing-puing kehancuran nyaris tak bersisa?
Faktanya, selama puluhan tahun penelitian kepurbakalaan terpusat pada kerajaan Buddha Sriwijaya di kota Palembang, sekitar 400 km ke selatan Muara Jambi. Sementara, Kerajaan Melayu, tempat Muara Jambi berada, tetap jauh dari terang kisahnya dan masih menyimpan sejuta misteri!
maket Kawasan Percandian Muara Jambi |
Dwarapala ditemukan di Candi gedong 1 tampak tersenyum dengan melati di telinga |
oleh-oleh khas Jambi: Gelang Sebalik Sumpah |
Muara Jambi Kini dan Nanti
Saya bersyukur bisa mengunjungi Candi Muara Jambi. Mengenang sejarahnya dan membayangkan kebesarannya sungguh membuat saya bangga. Saya berharap kawasan seluas 3981 hektar, yang sejak 30 Desember 2013 telah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional untuk mendorong upaya percepatan menyelamatkan kawasan candi dari kepentingan yang merusaknya, bisa terkelola dengan lebih baik lagi.
Salut untuk semua pihak baik pemerintah pusat, daerah, lembaga nirlaba, komunitas pun masyarakat yang telah merawatnya hingga kini. Memang dalam menangani pelestarian Kawasan Percandian Muara Jambi ini mesti hati-hati, mengingat kehebatan dan keindahan peradabannya di masa silam.
Harapannya, semoga saja benturan kepentingan industri dan wisata tak sampai melemahkan pelestarian situs purbakala ini. Sehingga keluhuran budaya nenek moyang kita masih bisa disaksikan dan diteladani dari generasi ke generasi!💖
Happy Traveling
Terima kasih kunjungannya:)
BalasHapusTahun 2018 lalu sering lewati jalan utama jambi-muara jambi. Padahal tinggal belok aja ke kawasan candinmuara jambi, tapi selalu gagal. Yaa karena saat itu dalam rangka pekerjaan. Jadi ga bisa seenaknya pergi jalan-jalan..hiiks
BalasHapusPenelitian di area candi muara jambi sedang dilakukan mbak. Bahkan ada pihak swasta yang membantu untuk memetakan wilayah candi menggunakan teknologi potret udara melalui pesawat. Pemotretan udara ini juga menghasilkan gambar berupa bentuk kontur tanah di area candi.
Semoga hasil penelitian bisa mengungkap luasnya dan fungsi bagian-bagian yang ada di area candi muara jambi.
Ceritq yang bagus mbqk dian :D
Terima kasih tambahan infonya, mas:)
HapusCandi muara jambi memang unik. Kebetulan keluarga Ada di jambi. Jadi alm mama dan keluarga besar sudah kesana. Kalau Mpo beluman nih
BalasHapusKalo melihat dari luasnya areal candi, mungkin aku termasuk yg mempertimbangkan buat naik sepeda krn buat jaga2 spy bisa muterin semua arealnya tanpa harus terlalu capek..hehe..
BalasHapusDulu aku pernah ikut trip komunitas historia ke beberapa tempat bersejarah di jakarta..
Ada kawasan masjid bersejarah tertua di Jakarta (bukti awal masuknya budaya Islam di Jakarta) yang masih bagus kondisinya, ternyata perawatannya bukan dari dana pemerintah tapi murni dari donatur / warga sipil yang perduli..
Menurut mereka, pengajuan sdh diajukan ke pemerintah tapi krn responnya lambat dan berbelit-belit kemudian daerah tersebut sering kebanjiran, jadi mereka pada akhirnya mendanai sendiri..
Sepertinya hal ini ngga terjadi untuk candi ini ya karena restorasi sudah selesai..
Aku berasumsi, mungkin ada situs yg diprioritaskan di urutan pertama, dan ada yg diurutan ke sekian..
Semoga semuanya pada akhirnya dapet perhatian yg sama dari pemerintah..
Nice post!
Benar, Mbak memang perlu waktu lama dan dana yang besar untuk penelitian secara keseluruhan
HapusWakksss, ini project yg luar biasaaa
BalasHapusSaluuutt dan angkat topi pada Jean-Paul Chantraine, CEO ASIA - agen perjalanan yang sangat berkomitmen - yang memberikan dukungan sepenuh hati
Bener bangettt, kalo kita melakukan eksplorasi ke Muara Jambi dijamin bakalan terkesima bin terpesona akan keajaiban perguruan tinggi Buddha yang kuno ini ya mbaaa
Waaah, iyaks nih aku udah lihat postingan IG feed mbak Dian :) Road trip Pulau Sumatera okeeeeee bingits ya bikin aku kepengen suatu hari nanti. Soalnya belom pernah sih hihihih :) OOoooooh seperti ini sejarahnya, panjang juga ya kisah Candi Muara Jambi. Sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional seluas hampir 4 ribu hektar ini mesti dijaga, disayang2 oleh masyarakat sebagai warisan budaya kita. HTM nya murah banget, anak2 3 ribu, dewasa 5 ribu. Ngebayangin 8 kali nya Candi Borobudur wuuiihh...Sayang ya runtuh begitu..cerita Sang Guru menarik sekali. Jadi dongeng sebelum tidur bisa nih hehehe. TFS.
BalasHapusWahhh Ulasan yang sangat menarik selaligus komprehensif, saya sangat suka dengan kunjungan kunjungan situs arkeologi, semoga suatu saat bisa berkunjung kesana juga, tentu tulisan Mba Dian bisa menjadi referensi buat saya, untuk pengelolaannya mungkin masih jauh dari tata kelola yang baik, tapi berharapnya kedepannya semoga semakin baik, setidaknya bisa seperti pengelolaan Candi Candi yang ada di Pulau Jawa
BalasHapusBacanya berasa pelajaran sejarah nih, di ajak jalan2 deh.
BalasHapusWaahh ini Muara Jambi sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional, setuju banget untuk mendorong upaya percepatan menyelamatkan kawasan candi dari kepentingan yang merusaknya, agar bisa terkelola dengan lebih baik lagi.
Untuk mengunjunginya juga htmnya murmer sekali yaa, dan kbayang ituu bisa keliling2 pake sepeda, dengan biaya 10k mah terjangkau banget buat sewanya.
Semoga next bisa mampir ke sana.
MasyAllah Mba Dian. Ulasannya lengkap banget sampai Mba Dian tahu sejarahnya juga. Baca tulisan Mba Dian aku jadi ngerasa baca buku sejarah saking lengkapnya ceritanya hihihi 😍😂.
BalasHapusMasyAllah Mba Dian itu ya, meni luas wawasanya. Semoga pandemi segeda berlalu ya, aku jadi pengen gitu ngajak Erysha jalan jalan ke candi juga dan belajar sejarah.
Lengkap banget mbak informasi tentang candinya. Aku ke sana tahun 2019, bertiga sama temanku, sewa bentor, dan punya waktu agak lama buat keliling dan lihat-lihat, bahkan berfoto. Sungguh menyesal ga beli buku "Mimpi-Mimpi dari Pulau Emas" itu. Enggak tahu juga sih kalau ada yang jual. Kalau tahu pasti aku beli. Udah lama pingin tulis di blog, tapi karena kekurangan informasi dan ga ada sumber yang bisa aku baca/wawancarai, jadi kutunda terus nulisnya. Padahal bagus banget ini. Suatu waktu kalau aku mau tulis, aku ijin ambil informasi candinya dari tulisanmu ya mbak. Nanti aku sebutkan sumbernya.
BalasHapusAku kok berharapnya lebih ya, kubayangin masuk situs dengan cerita di baliknya yang sekomplit detail dan unik,
BalasHapuskita tuh masuk kayak lorong waktu - ada penjelasan guidance virtual - terus ada layar digital yang ala ala menceritakan kisahnya saat itu
one day kali ya, semoga kebaca ama penyelia tempat amiiin
aku tuh pernah mba ke candi muaro jambi pas ada gerhana bulan bareng sama tim peneliti arkeologi UI. Iya sayang banget ya banyak banget candi-candi yang masih berserakan dan belum sempat dipugar, pun kalau dipugar butuh keahlian juga supaya ga merusak nilai asli bangunannya.
BalasHapusaku bahkan sempet muter-muterin kawasan sekitaran Candi Muaro Jambi, karena lokasi nya juga ada di beberapa titik ya.
Wah, jadi tahu tentang sejarahnya Candi Muara Jambi berkat tulisan yang super lengkap ini deh. Semoga saja peninggalan sejarah yang berharga seperti Candi Muara Jambi bisa tetap lestari dan terjaga dengan baik yah
BalasHapuswaah ulasan sejarahnya lengkap banget mba Dian.
BalasHapusmeskipun ga terlalu besar dan luas tapi lumayan termasuk yang cukup sih ini konservasinya tinggal ditingkatin lagi sama pemerintah daerah setempat. Padahal di luar Jawa lho, biasanya masih lebih concern pemda yg di jawa... salut sama daerah yg conserve situs2 sejarah dan budaya mereka
Candi itu, yang saya baca belakangan, bukan tempat ibadah, tetapi semacam "perpustakaan hidup" yang memotret kejadian2 di waktu candi dibangun.
BalasHapusya ampuuun mba.. terakhr ke Jambi itu tahun 2011, dengan keluarga suamiku yang almarhum ayahnya lahir dan besar di jambi mba. udah lama bangeet ya. Tapi aku sempat mampir ke sini niiiih
BalasHapusPanjang juga ceritanya ya tentang Candi Muara Jambi. Kalo aku pribadi baru mengunjungi candi-candi di Jawa Tengah aja,belum nyampe ke daerah-daerah lain.
BalasHapusSetuju banget dengan harapannya, Mbak. Saya pun mendukung. Dan tentang sampah ini memang maish jadi banyak masalah di berbagai tempat pariwisata di Indonesia. Butuh perhatian yang serius
BalasHapusTempat oleh oleh di candi muara di jambi juga banyak. Jadi bisa bawaain sebagai buah tangan khas kota jambi
BalasHapusAku suka berkunjung ke tempat yang seperti ini mba. Nilai sejarahnya bagus. Dan bagus juga masih terjaga baik. Smoga tempat seperti ini akan selalu terjaga baik
BalasHapus
BalasHapusPenting banget akses yang mulus menuju lokasi jadi kita yang mau berkunjung lebih nyaman. Tinggal meningkatkan pengunjung untuk mempelajari sejarah dan museum yang kurang ya padahal banyak sejarah yang bisa dipelajari di sini.
Aku kadang ga kepikiran beli buku tentyang tempat yang aku kunjungi, noted buat aku nih untuk menambah wawasan.
Setelah sampai rumah bisa baca ulang sejarah dari PErcandian ini ya lewat buku Mimpi-m impi dari Pulau Emas
Wah, ulasannya detail banget mba. Jd apakah itu krn tempat pembuangan penderiga kusta ya. Masih jd misteri ya. Aku pribadi pengen banget berkunjung ke tempat2 bersejarah gini. Tp siang hari. Kalo malem sereeem. Hihi
BalasHapusMba Dian pengen dolan ke situ, duh kangen traveling
BalasHapussemoga ada rejeki bisa main ke sana, murah banget biaya masuknya ya dan dapet banyak cerita sejarah
wah senangnya bisa jalan jalan ke candi muaro jambi ini ya mbak
BalasHapusaku juga senang banget bisa jalan jalan ke candi
bisa sekalian belajar sejarah dan bisa kusampaikan di kelas sama murid muridku, maklum aku guru sejarah, hehe
Ternyata di Jambi juga Ada Candi ya mba,, Muara Jambi yang di dalamnya dari 80 reruntuhan candi.. sarat sejarah lagi...ternyata luas bngt y Indonesia waktu itu terbntuk sejarahnya
BalasHapusJarang banget ada yang membahas mengenai sejarah setelah dari tempat wisata seperti Candi Muara Jambi ini. Kak Dian menuliskannya super lengkap.
BalasHapusAku yang belum pernah ke Jambi jadi ingin melihat secara langsung bagaimana rupa dan kisah yang tersembunyi.
Hanya peninggalan sejarah inilah yang menjadi saksi bisu.
Duh jadi kangen jalan-jalan ke candi..kayaknya terakhir main ke candi2 tuh jaman masih di kampus..hehe.. Suka banget main ke candi karena terawat bersih gitu ya.. Apalagi tiketnya itu loh murahnya kebangetan..heheh
BalasHapusUlasan sangat cukup lengkap yang mampu menuntun kita apabila suatu saat ada kesempatan utk jalan-jalan ketempat ini.
BalasHapusAku belum pernah kesini, btw ini jadinya tripnya based in book ya?
BalasHapusMba, aku masih bingung, ini kawasan Muara Jambi dulunya juga masuk kerajaan Sriwijaya kah? Selama ini kalau menyebut Sriwijaya ya pikiran langsung melayang ke Palembang aja.
BalasHapusPenelusuran sejarah ini penting banget ya untuk pengetahuan masa kini agar kita bisa meneladani kisah sejarah. Mengambil pelajaran penting dari itu semua. Salut ya dengan semangat untuk belajar hingga belasan tahun merantau gitu. Ternyata dari dulu ya ada yang tekadnya kuat dalam menuntut ilmu, dibela-belain berlayar jauh gitu ya.
Wah luas banget ya kawasan Candi Muara Jambi ini. Nggak kebayang kapan selesai pemugarannya dengan area seluas ini. Menarik juga segi sejarah dari candi ini. Apalagi misteri kenapa candi ini bisa terabaikan. Semoga suatu saat nanti terpecahkan misteri ini!
BalasHapusWah luas banget kawasan candi ini. Nggak kebayang kapan selesai pemugarannya. Menarik juga misteri mengapa candi ini terabaikan. Semoga segera terpecahkan.
BalasHapusSemoga percandian muara jambi bisa dilestarikan seperti candi² di pulaalu jawa.
BalasHapusWahhh bisa jd referensi tempat wisata nih pas bgt ada rencana mau ke Jambi..mudah2an nanti sempet eksplor muara Jambi...btw, agak disayangkan ya mba harusnya ada rute khusus sepeda..kalau bebas takutnya bisa merusak candi yg ada...
BalasHapusCandi Muaro luas banget yaa. Sayangnya banyak candi yg belum dipugar yaa.
BalasHapusPertama kali ke Jambi waktu ke tempat sepupu gak sempet ke sini. Padahal pengen banget bisa liat candi yang ada di Sumatera.
BalasHapusSetuju banget mba, semoga situs peradaban purbakala di candi muara jambi bisa terus membaik..
BalasHapusSaat berkunjung ke candi muara di propinsi riau, guide menyampaikan bahwa ada kesamaan candi tersebut dengan candi muara jambi di propinsi jambi. Jambi klaim, mereka yang duluan membangun komplek candi tsb. Pihak propinsi Riau juga meng klaim Komplek candi tersebut pertama ada di Riau, baru kemudian dibangun juga di Jambi. Sayangnya, saya tidak telusuri fakta sejarah secara tertulisnya. Kalau menurut mbak Dian, gimana? Candi tersebut pertama kali di bangun di propinsi Jambi atau Riau?
BalasHapusSambil baca aku sempat cek-cek di google juga. Luas sekali ternyata. Dan lokasi candi ada di beberapa titik. Seandainya dilakukan pemugaran dengan baik, bisa lebih indah dan seterkenal Borobudur atau Prambanan.
BalasHapusWah nyenengin banget ini tulisannya ada cerita sejarahnya.
BalasHapusNggak melulu cerita perjalanannya. Semoga candi ini bisa mendapatkan penanganan yang lebih baik di masa depan ya mbak. Biar namanya bisa terdengar lebih luas dan tidak terlupakan
Penjelasannya bagus sekali mba, saya jadi banyak tau terkait sejarah Muara Jambi dan Melayu. Ah saya juga baru tau jikalau Muara Jambi dulunya temoat pembuangan hem
BalasHapusWah saya baru denger nih ada candi ini, hehehe... Bangunan candinya masi terlihat bagus yah mba. Oh iya, salut juga, kalo mba sekeluarga masih mau ajak anak-anak belajar sejarah lewat situs-situs yang masih ada. Karena jaman semakin modern, wisata seperti ini rasa-rasanya makin ga diminatin.
BalasHapusSayang masih banyak batuan yang belum tertata rapi.
BalasHapusButuh bantuan pendanaan dari luar seperti UNESCO supaya pemugarannya bisa cepat selesai.
Apa karena candinya berada di luar pulau Jawa ya sehingga kurang mendapat perhatian pemerintah?
kalo liat bangunan tua yg punya banyak cerita seperti ini, aku jd kepikiran. gimana ya kalau misalnya akan banyak bertambah bangunan-bangunan bersejarah yang ditinggalkan dari zaman kita sekarang. karena udah banyak banget bangunan yang akhirnya ditinggalkan dan setiap bangunan pasti bercerita. kira-kira bisa jadi wisata sejarah juga ga ya hehe
BalasHapusya ampun...kalo ngga baca ini gue ga tau kalo di Jambi ada candi yang luas, rasanya seperti di ajak jalan jalan kesana, tapi saya kalo kesana kayaknya akan memilih pake sepeda aja ahhahaha
BalasHapusKalau baca2 review tulisan bersejarah gini suka kepoo akuu tapi pas baca bukunya sendiri kok banyak ngantuk ya.
BalasHapusTerus aku jg belum pernah ke sini kan jadi Pengen. Kayanya semua tempat aja aku pengenin deh wkwwk
Ikutan ngeri pas baca yang bagian naik sepeda sambil kejar²an, apalagi nggak ada batas pemisah antara Candi dan area pengunjung. Takutnya kalau nggak segera diatasi malah merusak candinya.
BalasHapusTapi ya, kalau lihat luasnya dan beberapa hambatan ini itu rasanya akan butuh waktu lama untuk pemugaran Candi ya Mbak. Pasti biayanya juga nggak murah
Alhamdulillah, jadi bertambah pengetahuan Clara tentang sejarah dan budaya Indonesia dengan membaca artikel kakak ini. Terimakasih kak.
BalasHapusTernyata dijambi pun ada candi ya.. Saya kira hanya dipulau jawa saja, tiket masuknya murah ya, kalo sengaja liburan kesana sih mahal ditiket pesawatnya hihi
BalasHapus