Review Buku: Filsafat Kebahagiaan Karya Fahruddin Faiz
"Allah menciptakan kita untuk bahagia. Kita pun jangan mencari-cari alasan untuk tidak bahagia. Mari berbahagia, sekarang, di sini, seperti ini." - Fahruddin Faiz
Begitu pengantar yang disertakan oleh penulisnya, di halaman pertama buku 'Filsafat Kebahagiaan - Dari Plato, via Al-Farabi dan Al-Ghazali, Sampai Ki Ageng Suryomentaram' ini.
Sebuah pengantar yang pintar, yang mengajak pembaca untuk berbahagia dan selanjutnya penasaran lanjut membaca agar tahu jalan menemukan, memahami dan menikmati kebahagiaannya sendiri.
Terkesan berat di awal, tapi setelah membuka halaman demi halaman buku karya Fahruddin Faiz ini, dijamin dirimu bakal asyik menyelami gagasan beberapa filsuf dengan filosofi-filosofi yang khas tentang kebahagiaan. Apalagi buku ini pada awalnya adalah kajian rutin seminggu sekali bertitel "Ngaji Filsafat" yang diadakan di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta" yang berada di lingkungan akademik (lingkungan mahasiswa)
Tak heran redaksi dan narasinya lebih simpel dan mudah dipahami, yang seperti harapan penulisnya bisa memupus stigma bahwa filsafat itu rumit dan susah dimengerti.
FYI, Masjid Jendral Sudirman sendiri saat ini bisa dibilang menjadi episentrum intelektualitas di Jogja dengan Ngaji Filsafat yang rutin berlangsung setiap Rabu malam. Bahkan tak hanya di Jogja, Ngaji Filsafat dengan pengampu Dr. Fahruddin Faiz itu gaungnya terdengar hingga ke berbagai daerah di Indonesia, dan paling banyak didengar oleh kalangan anak-anak muda yang menaruh minat besar pada filsafatNah, sesuai judulnya, ada 4 filsuf di dalam buku yang mewakili belahan dunia dan tradisi filsafat yang berbeda dan cara pandangan pada kebahagiaan yang tak sama.
Ada Plato dari tradisi filsafat Yunani yang rasional-idealis, Al-Farabi dari tradisi filsafat Islam yang rasional-religius, Al-Ghazali dari tradisi filsafat Islam yang religius spiritual, dan Ki Ageng Suryomentaram dari tradisi lokal Jawa yang arief-realistis.
Penulis buku berharap bahwa buku setebal 284 halaman ini bermuara pada bagaimana seseorang dapat menemukan dan menikmati kebahagiaan dalam kehidupannya tanpa terjebak dalam ambiguitas konsep dan paradoksnya.
Btw, saya sendiri tertarik membeli buku ini setelah beberapa lama mengikuti Ustaz Fahruddin Faiz di platform TikTok, yang gaya ceramahnya cool dan bahasanya gaul tapi bisa mendalam dan menukik. Ustaz yang juga dosen dan wakil dekan di Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam di UIN Sunan Kalijaga ini memang piawai dalam berceramah juga produktif menulis buku.
Penasaran? Yuk, kita review!
Plato: Pengetahuan, Keutamaan, dan Kebahagiaan
Plato adalah salah satu sesepuh filsafat selain Socrates dan Aristoteles. Socrates merupakan gurunya Plato dan Plato adalah guru Aristoteles. Lalu, Aristoteles punya murid Iskandar Zulkarnaen yang kemudian mengembangkan ilmu warisannya menjadi tradisi filsafat Romawi yakni Helenisme.
Berikutnya Helenisme ini diwarisi oleh para filsuf Muslim yang nantinya menginspirasi Barat sehingga lahir Renaisans dan meodernisme hingga kini. Salah satu peninggalan paling terkenal dan monumental dari Plato adalah Akademia, universitas pertama dalam sejarah dunia. Menurut Fahruddin Faiz, pandangan Plato tak terlalu sulit dipahami meski bahasanya sukar dimengerti.
Nah, dalam buku ini Fahruddin Faiz menelaah bagaimana pemikiran Plato terkait manusia, jiwa dan unsur-unsurnya, kenikmatan, kebebasan, kategori manusia, teori keutamaan, dan cara mencapai kebahagiaan dengan keutamaan.
Plato membagi manusia dalam tiga kategori, yakni:
- Philosophos: mencari pengetahuan/kebijaksanaan
- Philonikon: sibuk mencitrakan diri, mencari nama, kehormatan dan status
- Philokrematon: mencari kesenangan
Plato berpandangan manusia itu punya esensi. Apa esensinya? Jiwa. Hakikat manusia adalah jiwanya, badan hanya manifestasi dari jiwa. Fungsi jiwa akan optimal kalau dia adil dan harmonis. Manusia yang bisa mengoptimalkan fungsi-fungsi jiwanya inilah nanti disebut orang yang bahagia.
Well, pandangan-pandangan Plato yang cenderung ke sayap kanan (tak seperti Aristoteles yang cenderung ke sayap kiri dengan realismenya), dikupas Fahruddin Faiz dalam bahasa lugas dengan disertakan contoh nyata di keseharian.
Salah satunya:
"Plato mengingatkan, kenikmatan mesti dibedakan dengan kebahagiaan. Hidup bahagia pasti nikmat, namun nikmat tak selalu bahagia. Misalnya kamu lagi stres terus merasa haus. Karena haus, kamu minum dan berasa nikmat. Nah, saat itu kamu tetap tidak bahagia karena sedang stres meski minumanmu terasa nikmat." (hal 49)
Al-Farabi: Kebahagiaan
Al-Farabi: lahir 259 H (872 M), wafat 339 H (951 M), Era Zaman Keemasan Islam, Karya antara lain: Al-tanbih ala Sabil al-Saadah, Tahshil al-Saadah, Ara'Ahl al-Madinah al-Fadhilah.
Berikutnya, Fahruddin Faiz mengulik pemikiran filsuf besar Al-Farabi, sebab dapat dikatakan sebagai versi Islamnya Plato dan Aristoteles, dengan menerjemahkan pikiran kedua filsuf Yunani itu menjadi berkarakter Islam.
Al-Farabi ini disebutkan sangat cerdas, menguasai hampir semua cabang keilmuan saat itu, yaitu: fisika, seni, estetika, musik, metafisika, etika, biologi, kimia dan kedokteran. Bahkan kabarnya ia menguasai sekitar 70 bahasa.
Inilah di antara yang menjadi kunci kesuksesan Al-Farabi, menguasai banyak bahasa juga logika. Selain itu, kunci sukses Al-Farabi adalah keseriusan, misalnya konon ia mengkhatamkan buku Aristoteles tentang jiwa sebanyak 200 kali sampai merasa yakin benar, baru berani menuliskan.
Oh ya, soal kebahagian, berbeda dengan Plato yang konsep bahagianya sangat individual, konsep kebahagiaan menurut Al-Farabi sudah mulai bernuansa sosial.
Kemudian, Al-Farabi berpandangan kenikmatan belum tentu kebahagiaan. Kenikmatan bersifat sementara, sedangkan kebahagiaan bersifat lebih abadi. Kata Al-Farabi "Allah menciptakan kita untuk bahagia" Maka, jangan bikin Dia tersinggung dengan banyaknya keluhan dan kegalauanmu setiap hari.
Al-Farabi punya ciri khas: kebahagiaan sosial yang berasal dari diri sekaligus sumber kebahagiaan individual. Jadi kebahagiaan individual harus ditopang kebahagiaan sosial. Maka menurut Al-Farabi, komunitas negara mesti diusahakan mencapai level negara ideal dimana masyarakatnya punya pengetahuan untuk bahagia dan praktik hidupnya juga membahagiakan.
Nah, Fahruddin Faiz di akhir ulasan menyebutkan kunci kebahagiaan versi Al-Farabi sebenarnya sama dengan Aristoteles: kunci orang bahagia adalah harus pintar. Sesudah pintar dia bisa beramal baik, dengan melakukan amal baik maka kebahagiaannya akan datang, dia tahu mana yang boleh, mana yang tidak boleh, berapa batasnya, kapan sudah berlebihan, dan seterusnya. (hal 150)
Al-Ghazali: Kebahagiaan
Al-Ghazali: lahir sekitar 450 H (1058 M), wafat 505 H (1111 M), era Zaman Keemasan Islam, Karya di antaranya: Tahafut al-falasifah, Al-Munqidz min al-Dhalal, Maqashid al-Falasifah, Al-Qisthas al-Mustaqim
Pada bab ini saya tersentil sekali pada pengantar dari penulisnya.
Disebutkan Al-Ghazali merupakan tokoh yang keilmuannya lengkap dalam tradisi kajian Islam: fiqih, kalam, tasawuf dan filsafat. Oh ya, di Barat seseorang paling hanya mendalami satu bidang ilmu saja. Tapi sejarah membuktikan banyak tokoh yang ilmunya multidisiplin tak seperti orang modern saat ini.
Mungkin karena kini banyak kenyamanan hingga orang cenderung manja. Berbeda dengan ilmuwan dulu yang berbekal tinta celup dan lampu temaram, tapi karyanya luar biasa, bisa ratusan judul dihasilkan. Kita dengan fasilitas luar biasa, mudah akses kitab apa saja, malah tak mau tekun dan manja.
Ini menurut Fahruddin Faiz adalah semacam kemanjaan posmodern, akibatnya generasi kita tidak tangguh di bidang ilmu pengetahuan padahal sudah mati-matian dicontohkan oleh generasi Islam di awal.🙈
Lebih lanjut disebutkan, Al-Ghazali adalah salah seorang tokoh intelektual Muslim yang normal dalam artian tidak kontroversial. Tulisannya itu, filsafatnya sangat tinggi, tasawufnya juga sangat tinggi. Tapi kalau menulis kitab dia tahu audiensnya, sehingga kitab-kitabnya relatif mudah dipahami.
Nah, kunci bahagia pertama menurut Al-Ghazali adalah mengenali diri, yang bermanfaat bagi kita untuk menemukan citra Tuhan dan mengenal Tuhan.
Kemudian dikatakan rumus bahagia: waspadailah syahwat dan amarah serta carilah ilmu. Jalan kebahagiaan adalah kuasai amarah dan syahwat lewat ilmu. Idealnya semakin pintar orang, semakin berkualitas hidupnya dan semakin dia merasa bahagia. Kalau kamu merasa makin pintar, wawasan makin banyak tapi hidup makin sumpek, berarti ada yang salah dalam prosedurmu mencari ilmu.
"Sudah Ngaji Filsafat setahun tapi rasanya tidak ada perkembangan". Coba dicek lagi, jangan-jangan ada yang salah dengan niatmu. Jangan-jangan yang kamu incar bukan ilmu, tapi kopi gratisan atau pasangan." Silakan muhasabah sendiri. (hal 185)
Kemudian disebutkan, kata Al-Ghazali "Deklarasikan jihadmu terhadap 13 musuh batiniahmu yang tidak terlihat: egoisme, arogan, angkuh, keakuan, tamak, bernafsu, intoleran, marah, bohong, curang, ghibah, merasa benar sendiri dan memfitnah.
Membacanya, saya jadi teringat akan Sedona Methode , sebuah teknik pengembangan diri dan pelepasan emosi yang dirancang untuk membantu seseorang melepaskan emosi negatif, stres, dan keyakinan yang membatasi. Metode ini dikembangkan oleh Lester Levenson pada tahun 1950-an dan kemudian dipopulerkan oleh Hale Dwoskin melalui bukunya yang berjudul The Sedona Method. Tujuannya adalah untuk mencapai kedamaian batin, kebahagiaan, dan kesejahteraan dengan cara melepaskan emosi yang tidak diinginkan dan beban mental.Nah, puncak bahagia, kata Al-Ghazali adalah makrifatullah (mengenal Allah). Kalau orang sudah makrifatullah, kebahagiaan sejatinya justru saat dekat dengan Allah.
Setelah mengenal diri, dan mengenal Allah, Al-Ghazali mengatakan kita perlu mengenal dunia, dengan dua target: memelihara jiwa dan merawat jasad. Dimana dunia menjadi jalan bagi kita untuk mencapai bahagia di akhirat.
Jiwa harus beres. Jasad harus beres. Jasadmu jangan disiksa. Waktu makan, ya makan. Tidak punya uang ya cari. Jangan mau kelaparan. Sebab, badanmu itu amanat dari Allah.
Lawanlah akhlak tercela dengan akhlak mulia. Kuncinya, menaklukkan diri sendiri. Jadi kenalilah diri, Allah dan dunia maka akhiratmu akan bahagia, begitu instisari dari Al-Ghazali. (hal 218)
Ki Ageng Suryomentaram: Kawruh Begja
Ki Ageng Suryomentaram: lahir 20 Mei 1892, wafat 18 Maret 1962, karyanya antara lain: Jimat Perang serta Arasa Manusia
Ki Ageng Surymentaram adalah salah satu anak dari 79 anak Hamengkubuwono VII.
Bernama kecil BRM Kudiarmadji pada usia 18 tahun dia diangkat menjadi pangeran dengan gelar Bendoro Pangeran Haryo Suyomentaraman, artinya Matahari Mataram. Pendidikan masa kecilnya terjamin dan masuk sekolah bagus, tapi dia gampang gelisah karena pikirannya tajam sehingga tak kerasan tinggal di istana.
Dia sampai tua mencari sosok yang namanya 'manusia' dan kelak menemukannya pada usia tua.
Kegelisahan luar biasa membuatnya kabur dari istana dan meminta ayahnya mencopot gelar pangerannya tapi ayahnya menolaknya. Dia mengalami banyak peristiwa pahit, hingga setelah keluar istana ia mengalami pencerahan.
Nah konsep kebahagiaan menurut Suryomentaram disebut Kawruh Begja (Hakikat Bahagia) dengan hidup jangan kelebihan dan jangan kekurangan. Rumusnya 6 S:
- Sakbutuhe (sekadar kebutuhan),
- Sakperlune (sekadar keperluan)
- Sakcukupe (sekadar kecukupan)
- Sakbenere (sekadar kebenaran)
- Sakmesthine (sekadar kepantasan)
- Sakpenake (sekadar kenyamanan).
Dalam bahasa filsafat, dijelaskan penulis, gaya pemikiran Suryomentaram bisa dikategorikan sebagai rasionalitas yang reflektif.
Sementara syarat bahagia menurutnya, mengerti diri sendiri, orang lain dan lingkungan sekitar. Dan kunci menemukan hakikat diri adalah hiduplah kini (saiki), di sini (ing kene) dan begini (ngene).
Kemudian kebahagiaan bersifat mulur (mengembang) dan mungkret (mengerut). Dimana kebahagiaan sejati tidak bergantung pada waktu, tempat dan keadaan.
Sama dengan kebahagiaan, hidup juga mulur dan mungkret. Maka Suryomentaram menyarankan: jalanilah hidup dengan tenteram.
Lalu, hindarilah neraka dunia dengan menyadari sifat mulur/mungkret atau senang/susah. Kata Suryomentaram kamu akan merasakan neraka dunia -pasti susah terus tanpa rasa senang, jika punya 4 karakter ini:
- Iri (meri)
- Sombong
- Kecewa (getun)
- Khawatir (sumelang)
Buku filsafat kayak gini, saya juga gak bisa cepat bacanya. Karena gak sekadar membaca. Saya butuh waktu untuk mencerna dan memahami isi bukunya
BalasHapusBener juga, ya. Segala kenyamanan bisa membuat manja. Rasanya buku ini bisa membuat kita para pembacanya untuk merenung dan belajar mengenali diri sendiri.
HapusWah ini mah guru spiritual online saya
BalasHapusSetiap hari, sambil jalan kaki pagi saya ngedengerin ngaji filsafat beliau dengan menggunakan headset
Suaranya adem banget, materinya tematik dan dijelaskan secara runut sehingga pendengarnya bisa memahami walau yang materinya cukup berat
Jadi pingin beli bukunya juga, bagus ya?
Saya tipikal suka banget baca2 buku filsafat, paling seneng kajian para sufi juga. Banyak banget makna kehidupan yang membuat kita baca berkali-kali baru ngerti artinya. Jadi butuh pemahaman yg agak lama di otak aku yg suka delay ini. Ahaha
BalasHapusAllah menciptakan untuk kita bahagia, Faruddin Faiz bercerita tentang kebahagiaan yang telah dia dapatakan sebagai ngaji filsafat yang dilakukan setiap minggu di masjid jenderal sudirman - yogyakarta
BalasHapusternyata plato ada 3 unsur tentang manusia, kayaknya aku pernah baca yang tentang plato dalam konteks filosofis itu. Kalau dilihat dari keseluruhan tuh kebahagiaan tidak terlalu melekat dengan urusan duniawi ya, dan berbuat baik pada sesama juga memberikan kebahagiaan
BalasHapusKalau sudah memiliki bahasan "memelihara jiwa dan merawat jasad", jadi keinget sama kaidah ushul fiqh.
BalasHapusBahasan buku yang tentang kebahagiaan ini apik, karena menilik pada orang-orang keren tentang filsafat. Boleh juga ini buat dibaca dan dimiliki bukunya
Makjleb banget pas baca kalimat ini mbak, Kata Al-Farabi "Allah menciptakan kita untuk bahagia" Maka, jangan bikin Dia tersinggung dengan banyaknya keluhan dan kegalauanmu setiap hari. Waduh, jadi ngerasa bersalah sering mengeluh belakangan ini.
BalasHapusSepertinya menarik banget buku filsafat kebahagiaan ini meskipun topik ini agak berat juga buat saya pribadi, tapi banyak ilmu dan pelajaran hidup yang bisa kita dapatkan di dalamnya ya, terutama menyadarkan kita untuk tetap bahagia dalam menjalani kehidupan ini.
BalasHapusSetuju mas Awan, reminder diri buat bahagia ya. Apalagi para filsuf yang diulas dalam buku ini terbilang familiar kita kenal, sehingga bisa kita ikuti cara meraih bahagia itu dengan hal yang baik
HapusKalau aku baca ini pasti butuh waktu panjang untuk rampung sekalgus memahami. Karena speertinya baca buku seperti ini ngga bisa kilat apalagi diskip yaa...
BalasHapusBtw, Ilmu Harus Diimbangi dengan Ahlak" itu semakin kesini semakin related....
Kalau ustadz ceramahnya cool jadi santai ya bisa cepat masuk ke kita eh ke aku deh :)
BalasHapusDari postingan mbak Dian aku jadi belajar tentang filsafat mesikipun baru sedikit nih, jadi tertarik untuk baca buku filsafat.
Suka sama kutipannya Plato Hidup bahagia pasti nikmat, namun nikmat tak selalu bahagia.
Duh kesentil juga nih aku mbak Allah sudah menciptakan kita untuk bahagia tapi masih aja suka ngeluh aku, haru slebih banyak bersyukur lagi. Terima kasih siraman rohani paginya lewat postingan. Selalu lengkap dan runut mbak Dian kalau bahas sesuatu jadi enak dinikmati
Buku ini memberikan perspektif baru tentang kebahagiaan lewat berbagai filsuf. Menurutku, pandangan Fahruddin Faiz tentang kebahagiaan yang sederhana tapi mendalam, benar-benar membuka mata. Menggabungkan filosofi Barat dan Timur dengan gaya bahasa yang mudah dipahami, bikin kita bisa merenung lebih dalam tentang arti bahagia dalam hidup kita. Penasaran juga nih untuk baca!
BalasHapusBuku ini memberikan perspektif baru tentang kebahagiaan lewat berbagai filsuf. Menurutku, pandangan Fahruddin Faiz tentang kebahagiaan yang sederhana tapi mendalam, benar-benar membuka mata. Menggabungkan filosofi Barat dan Timur dengan gaya bahasa yang mudah dipahami, bikin kita bisa merenung lebih dalam tentang arti bahagia dalam hidup kita. Penasaran juga nih untuk baca!
BalasHapusBuku filosofi kehidupan gini tuh aku suka banget. Apalagi jika dihubungkan dengan pendidikan moral dan cara pandang kita pada kehidupan. Sudah beberapa yang aku baca. Sering banget berasa masih minim ilmu meski usia sudah banyak. Mbak Dian, keren banget nulisnya. Begitu details dan bikin aku mbaca baris demi baris tanpa mengalami kebosanan sama sekali. Bahkan berhenti di beberapa bagian untuk mendapatkan pemahaman yang pas seperti apa yang ingin disampaikan oleh sang penulis.
BalasHapusAku loh sempat nyesal kenapa dulu gak ngambil kuliah di ilmu filsafat dan sosiologi. Karena ternyata aku tuh merasa IN banget saat menyelami kedua ilmu ini. Jadi sekarang belajarnya lewat buku-buku tentang filsafat dan sosiologi. Cus ah pengen beli buku karya Faruddin Faiz ini.
Seneng kalau baca filsafat yaa.. ka Annie.
HapusSerasa mendapatkan bahan diskusi, minimal untuk diri sendiri agar menghasilkan sebuah kebijakan dalam hidup.
Ini yang bikin aku percaya bahwa dewasa itu bukan masalah usia, tapi masalah kebijakan yang dimiliki seseorang dalam memandang masalah.
Wah kupikir ini juga buku yang berat lho kak sekalinya malah nggak ya, jadi tertarik pengen baca juga ah apalagi disaat usia kita ini kadang mencari-cari apa makna bahagia
BalasHapusInsha Allah nanti pas di Gramed saya mau cari buku ini, mudah2an tersedia dan bisa beli ya... menarik sih dari review buku dari kak Dian. Makasih.
BalasHapusini bacaannya berat dan dalam ya mba, namun penuh makna. Jaman kuliah dulu sempat belajar filsafat dan beberapa filsuf diatas juga sempat baca bukunya jaman dulu sekarang sudah agak lupa, jadi diingatkan lagi dgn artikel ini. keren sih bukunya!
BalasHapusDari semua filsafat, aku paling seneng sama filosofinya Ki Ageng Suryomentaram.
BalasHapusSangat membumi dan buatku, bahasa Jawa itu memiliki makna yang mendalam lebih dari bahasa Indonesia. Mungkin karena aku orang Jawa yaa.. Jadi lebih mantep megang prinsip Kawruh Begja (Hakikat Bahagia) dengan hidup jangan kelebihan dan jangan kekurangan melalui rumusnya 6 S.
Barakallahu fiik, ka Dian.
Suka sekali dengan review buku Filsafat Kebahagiaan Karya Fahruddin Faiz.
Bahagia itu memang sekiranya ga perlu dicari, tapi dimaknai setiap kejadian dengan hati yang lapang.
Bukunya bagus banget tapi memang harus dipahami dengan benar ini isinya, jujur aku tuh terakhir baca buku tentang filsafat kayaknya pas masih kuliah. Aku setuju bahwa kita ini harus bahagia dan menjalani hidup dengan bahagia, aku pernah dengar kutipan "bahagia itu kita yang menciptakan"
BalasHapusSaya beberapa kali mendengarkan podcast Fahruddin Faiz. Kadang terasa berat, kadang ringan. Biasanya karena kondisi hati saat mengikuti. Yang jelas temanya sering tidak biasa, kadang kejawen. Itu yang saya suka. Kalau bukunya baru tahu dan kayaknya ga terlalu berat, nih. Perlu dibaca juga.
BalasHapusBagian yang mengena di aku dari ulasan ini : menurut Al-Farabi, komunitas negara mesti diusahakan mencapai level negara ideal dimana masyarakatnya punya pengetahuan untuk bahagia dan praktik hidupnya juga membahagiakan. Ini keren sih, karena pada dasarnya manusia diciptakan untuk bahagia oleh Allah, tapi kadang kita justru kecanduan menderita. Meski rasanya banyak bagian keren yang sudah dibagikan dalam ulasan ini, saya tetep pengin baca bukuya sendiri
BalasHapusWaaah...aku sering dengerin Ngaji Filsafat-nya Pak Faiz Mbaaa... Dan mendengarkan penjelasan beliau itu, filsafat kok jadi terasa 'nggak terlalu berat'. Pembawaannya lucu, santai, dan pakai contoh2 sehari-hari sih ya. Sudah gitu, dalam ceramahnya juga ada tuntutan. Jadi mau dia bahas filsuf atheis sekalipun, dengernya tetap adem.
BalasHapusMeskipun nanti lupa lagi, tapi saat dijelaskan sama Pak Faiz itu kayak clear gitu. Beda kalau baca sendiri buku2/tokoh filsafat itu. Adanya malah mbundet di otak. Oh ya, banyak poin menarik di buku ini Mba.. TFS.
buku filsafat itu indah katakatanya, kadang perlu lebih sekalii baca untuk tiap pragraf..agar bisa memahami makna yang tersirat
BalasHapusBuku ini tampaknya memberikan wawasan yang mendalam mengenai pencarian kebahagiaan dari sudut pandang filosofis, yang sering kali membahas perbedaan antara kebahagiaan sementara dan kebahagiaan yang lebih abadi.
BalasHapusTadinya saya pikir, buku filsafat itu berat seberat isinya yg njelimet, tapi baca reviue ini saya jadi tertarik dan tanggapan saya mulai berubah deh.
BalasHapus"Nikmat tak selalu bahagia". Ndak mauuuu, maunya bahagia terus wkwk. Jd keinget ajaran dalam agama kita bahwa manusia emang hidup di dunia buat diuji, ada ujian gak enak, ada ujian nikmat. Tapi manusia kan maunya nikmat teruuuss :D
BalasHapusWah beberapa hari tu berapa hari mbak yang dibutuhkan buat baca buku ini?
Aku kyknya juga bakalan lama nih baca buku ini krn pasti kalau lanjut bakalan engap soalnya mayan berat ya kyknya.
ilmu filsafat ini memang kadang agak berat ya untuk diikuti. tapi pastinya ada banyak ilmu yang didapat dari buku ini nih terutama buat yang sedang mencari kebahagiaan dalam hidupnya
BalasHapusSudah lama saya nggak baca buku filsafat. Terakhir sih baca filosofi teras
BalasHapusTapi baca review ini, saya kok oengen baca buku ini. Dalam buku ini, materi filsafat disajikan dengan lebih sederhana ya mbak
Jadi lebih mudah untuk dipahami ya